DEFINISI FILSAFAT SECARA BAHASA DAN
ISTILAH
| ||
| ||
Lafadh filsafat
diambil dari bahasa Yunani, asalnya: Fila-Sufia (artinya; Cinta Hikmah).
Fila atau filu mempunyai arti pencinta dan
sufia bermakna hikmah,
sehingga dari asal itu sebutan filosof bermakna orang pencinta
hikmah.1
Para pakar filsafat sendiri kesulitan
mendefinisikan makna filsafat, semua sumber yang berhasil penulis temukan
sebatas penyebutan ciri, sifat, bidangnya dan lainnya.
1. Lihat: al-Farqu Bainal Firaq Abdul Qohir al-Baghdadi 2/58, Minhajus
Sunnah Ibnu Taimiyyah 1/359, Muqoddimah Ibnu Kholdun 2/671,
Mabadi’ al-Falsafah Rabu Bart hal. 19 (Beirut,
1976) Terjemah: Ahmad Amin, Tarikh Falasifatil Islam
Muhammad Luthfi
Jum’ah hal. 248
(Beirut, Maktabah Ilmiyyah), Qishshotul
Iman Nadim Jasir hal. 111 (Beirut, al-Maktabul Islami
cet. 3 (1389), al-Mu’jamul Falsafi jamil Sholiba 2/160 (Darul Kitab Lubnani, 1982).
KOMENTAR ULAMA TERHADAP FILSAFAT
|
Berikut ini selayang pandang sikap para ulama
semenjak munculnya benih-benih filsafat hingga tersebarnya di kalangan
masyarakat muslim:
- Di antara orang-orang yang mempunyai sikap keras dan tegas terhadap filsafat adalah Imam Abu Hanifah an-Nu’man رحمه الله. Berkata Nuh Jami’: “Aku berkata kepada Abu Hanifah: “Apa pendapat anda tentang perkara yang dibuat orang dengan pembicaraan mereka tentang sifat batin dan jisim?”Beliau menjawab: “(Itu) perkataan para filosof, hendaklah engkau (berpegang) dengan Sunnah dan jalan salaf, dan jangan sekali-kali engkau membuat sesuatu yang baru karena hal tersebut merupakan bid'ah.” 1
- Di antara mereka, Abu Faroj Abdurrohman bin al-Jauzi رحمه الله (meninggal 597 H), dia menggolongkan orang yang disibukkan dengan filsafat sebagai orang yang telah terperangkap jerat setan tanpa mereka sadari. Beliau berkata: “Iblis telah memasang jeratnya terhadap beberapa kelompok dari orang-orang yang seagama dengan kita. Iblis tersebut masuk kepada mereka dari pintu kecerdasan dan kejeniusan mereka, dia perlihatkan kepada mereka bahwa kebenaran hanya dengan mengikuti filsafat karena mereka adalah para filosof, yang keluar dari ucapan mereka perbuatan dan perkataan yang menunjukkan puncak dari kecerdasan dan kematangan dalam cara berpikir.2
- Abu Amr bin Utsman bin Abdurrohman yang dikenal sebagai Ibnu Sholah رحمه الله (meninggal 643 H). ketika ditanya tentang manthiq dan filsafat, beliau menjawab –dalam fatwanya yang masyhur-: “Filsafat adalah induk kebodohan dan penghalalan terhadap semua yang diharomkan syari'at, sumber kebingungan dan kesesatan, dan membuat penyelewengan dan kezindikan. Adapun manthiq adalah pintu menuju filsafat dan pintu kejahatan adalah kejahatan, syari'at tidak membolehkan seseorang menyibukkan diri dengannya, tidak dari para sahabat, tabi'in, para ulama mujtahid dan salafush-sholih maupun orang-orang yang mengikuti mereka.” 3
Alasan (keluarnya) hukum yang jelas dan tegas
ini sebagaimana yang beliau katakan: “Syari'at beserta ilmu-ilmunya telah
sempurna, dan para ulamanya telah menyelami ke dalam lautan hakikatnya yang
sekiranya tidak memerlukan filsafat dan para filosof, barangsiapa menibukkan
dirinya dengan manthiq dan filsafat karena suatu faedah maka setan telah
menipunya.” 4
- Syaikhul Islam Ahmad bin Taimiyyah رحمه الله (meninggal 728 H), dia adalah orang yang paling banyak membantah dan memfokuskan diri terhadap bahaya manthiq dan filsafat, serta menyebutkan sanksi yang diberikan syari'at terhadap yang mempelajari keduanya.
Kritikan beliau terhadap filsafat memiliki
cara dan metode khusus; beliau terjun langsung menyelami dasarnya, berenang di
atas ombaknya, dan mempelajarinya secara mendalam mengalahkan pakar-pakar
filosof sendiri dan melebihi mereka dalam menjabarkan kaidah-kaidahnya, sehingga
memungkinkan bagi beliau menerangkan apa yang terkandung di dalamnya dari
kebatilan. Berkata Syaikh Abdurrohman al-Wakil رحمه الله: “Cukuplah bagi anda bahwasannya
beliau –yaitu Ibnu
Taimiyyah- lebih mendahului para filosof Barat dan para pemikir mereka dalam
membantah manthiq Aristoteles, menerangkan apa yang terkandung dari kelemahan
dan kerancuan, dan cukuplah bagi anda bahwasannya beliau bertarung melawan para
filosof –thoghut manusia dan
sumber fitnah bagi mereka-, maka kemenangan dan kejayaan selalu bersamanya,
bersenjatakan dengan nash yang shohih dan akal yang sehat dalam pertarungan
tersebut, dan beliau mengkombinasikan dua kekuatan tersebut.”5
Sebenarnya karya ilmiah yang ditulis Ibnu
Taimiyyah dalam metode membantah filsafat dan manthiq masih menunggu orang yang
mengkajinya dengan kajian secara mendalam dan teliti, dan usaha tersebut
tersebar disemua karya beliau yang sangat banyak, di samping kitab-kitab dan
risalah-risalah yang beliau khususkan untuk membantah mereka. Di antara kitab
yang mengandung bantahan kepada mereka ialah: Da’u
Ta’arudhil Aql wan
Naql (Penolakan Terhadap Dakwaan Akal Dan Naql Saling
Bertentangan), Minhajus Sunnah, Bughyatul Murtad,
Ash-Shofadiyyah, al-Istiqomah, dan Naqdhu Ta’sisil Jahmiyyah (Bantahan Dasar Pemahaman Jahmiyyah). Dan di antara kitab khusus
dalam membantah filsafat dan manthiq: Nashihatu Ahlil
Iman fir Roddi ‘ala
Manthiqil Yunan (Nasehat Ahli Iman Dalam Bantahan Ahli
Manthiq Yunani6), Naqdhul Manthiq (Bantahan Manthiq), dan yang lainnya dari kitab dan
risalah-risalah kecil.
Metode bantahan beliau terhadap filsafat,
secara global mencakup dua segi:
(1). Menerangkan kesalahan filsafat secara
akal yang sehat,
(2). Menerangkan kesalahannya secara naql
(nash) yang shahih
Tidak diragukan lagi bahwa sisi pertama
memakan banyak tenaga dan waktu beliau, karena mereka mengaku berpegang dengan
akal, sehingga banyaklah yang tertipu oleh mereka. Sedangkan segi kedua, segi
inilah yang berhubungan dengan pembahasan kita disini, yaitu beliau menerangkan
bahwa filsafat adalah suatu hal dan agama adalah hal lain (yakni tidak
berhubungan satu sama lain, red.).
- Al-Hafidh Syamsuddin Muhammad bin Ahmad adz-Dzahabi رحمه الله (meninggal 748 H). Beliau salah seorang yang menimba ilmu dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah رحمه الله, dan karangan-karangannya dipenuhi tentang sikap beliau terhadap filasafat dan ilmu kalam pada setiap kesempatan. Beliau berkata –tentang biografi Ali bin Abdulloh az-Zaghuni-: “Bahkan sedikit sekali yang mendalami ilmu kalam kecuali ijtihadnya membawa kepada perkataan yang bertentangan dengan Sunnah. Oleh karenanya, para ulama salaf mencela orang yang mempelajari ilmu orang yang terdahulu, karena ilmu kalam lahir dari perkataan para filosof (penganut mazhab) Dahriyyah. Barangsiapa mengkombinasikan antara ilmu para anbiya’ dan dengan ilmu para filosof bermodal kecerdasannya, mestilah ia mendapat pertentangan; sebaliknya siapa yang berhenti dan berjalan di belakang para rosul, dengan mendiamkan apa yang mereka diamkan dan mereka tidak berlebih-lebihan dan tidak memperdalam karena para Rasul ‘Alaihissalam mendiamkan dan tidak memperdalamnya, maka dia telah berjalan di atas jalan salafus-sholih, selamatlah agama dan keyakinannya. Kita memohon kepada Allah عزّوجلّ keselamatan dalam agama.” 7
- Dan di antara mereka, pewaris Syaikhul Islam dalam ilmu dan muridnya yang jenius, Abu Abdillah Muhammad bin Abu Bakr yang terkenal sebagai Ibnul Qayyim al-Jauziyyah رحمه الله, beliau telah menguras tenaganya –sebagaimana gurunya- dalam membantah seluruh kelompok yang sesat, terutama orang-orang rasionalis yang berusaha mengkombinasikan antara kaidah-kaidah manthiq dan kesesatannya dengan pokok-pokok dasar Islam. Di antara perkataannya membantah orang yang mendakwakan bahwa belajar manthiq adalah fardhu ‘ain atau fardhu kifayah: “Mempermasalahkan hal ini hanya memperturutkan hawa nafsu, karena ilmu tersebut lebih layak disebut suatu kebodohan daripada suatu ilmu yang hukum mempelajarinya fardhu ‘ain atau fardhu kifayah. Inilah Syafi’i dan Ahmad serta para imam yang lainnya dan karangan-karangan mereka. Bagi siapa yang mau memperhatikannya, apakah mereka memperhatikan batasan-batasan manthiq dan ragamnya? Apakah ilmu mereka sah tanpa hal itu? Sebaliknya, mereka lebih agung dan lebih besar dalam segi pemikiran daripada menyibukkan diri dengan igauan ahli manthiq. Tidaklah ilmu manthiq berada pada suatu ilmu, kecuali dia akan merusaknya dan mengubah bentuknya serta dia kacaukannya kaidahnya.”8
- Al-Allamah Abdurrohman bin Kholdun رحمه الله (meninggal 808 H). Ketika membuat suatu pasal dalam muqoddimah kitab Tarikhnya dengan judul “Pasal: Tentang batalnya filsafat dan rusak pemahaman penganutnya”, beliau mengkritik banyak dari dasar-dasar filsafat yang sangat berbahaya dan merupakan pelecehan terhadap aqidah. Misalnya, beliau membantah mereka seperti: “Sandaran wujud kepada akal”, karena akal menurut mereka adalah falak; sebagaimana juga beliau membantah mereka dalam memasukkan semua di belakang alam ke dalam filsafat, dan perkataan mereka bahwa Ilahiyat tidak akan bisa mencapainya secara yakin, perkataan mereka: “Sesungguhnya kebahagiaan adalah mengetahui wujud dan ma’rifah saja.” Perkataan mereka: “Sesungguhnya manusia dapat dengan sendirinya menyucikan diri dan memperbaikinya.”
Beliau berkata tentang buku-buku filsafat
yang terjemahannya telah tersebar luas pada masanya: “Hendaklah orang yang
membacanya berhati-hati semampunya terhadap marabahayanya, dan hendaklah bagi
yang akan membacanya telah kenyang dahulu dengan ilmu syari'at dan telah
menelaah tafsir dan fiqih, dan janganlah seseorang terjun ke dalamnya sedangkan
dia dalam keadaan kosong dari ilmu agama, sangat sedikit orang yang selamat dari
kerusakannya.”9
Jika seandainya kita bercerita tentang Ibnu
Kholdun al-Ifriqi, sangat bagus kita menyebutkan tindakan yang diambil oleh Raja
al-Manshur perdana menteri kerajaan-kerajaan Andalus Abu Amir Muhammad bin
Abdulloh bin Abu Amir (339 H) karena dia telah berjasa dalam memerangi filsafat
yang dibuat-buat oleh orang. Beliau ini menggunakan kekuasaannya, karena beliau
memegang tampuk kekuasaan dari Hisyam bin al-Hakam yang menjadi khalifah padahal
umurnya masih Sembilan tahun, sedang orang tua Hisyam sangat gemar mengoleksi
kitab-kitab filsafat dan manthiq; maka dengan sengaja Ibnu Amir pergi
keperpustakaan Hikam, kemudian beliau keluarkan semua yang ada di dalamnya dari
kitab-kitab filsafat, kecuali kitab kedokteran dan hisab, kemudian dia
perintahkan untuk dibakar di hadapan para ulama.10
- Muhammad bin Ibrohim al-Yamin yang dikenal sebagai Ibnul Wazir رحمه الله (meninggal 840 H). Ia menerangkan tentang kebobrokan filsafat dan menghancurkan pemahaman mereka dalam sebuah karangannya yang dia beri judul Tarjih Asalibil Qur’an ‘ala Asalibil Yunan (Membenarkan Metode al-Qur'an dari Metode Yunani), di kitab ini beliau mentaqrir bahwa di dalam al-Qur'an al-Karim telah terkumpul ilmu yang paling shohih dan ilmu yang paling jelas yang dapat dipahami oleh akal, sebagaimana juga mencakup amalan yang paling mulia dan paling mudah bagi manusia, serta di dalamnya dalil-dalil akal yang mengalahkan ilmu manthiq dan ilmu kalam yang tidak lepas dari pemahaman yang dibuat-buat dan dipaksakan dalam permasalahan yang ringan dan yang mendasar, dan tidak ada di dalamnya metode para filosof dan ahli kalam.11
- Jalaludin
as-Suyuthi رحمه الله (meninggal 911 H) mempunyai jasa
yang patut dipuji dalam bentahannya terhadap manthiq. Beliau mengarang kitab
Fashlul Kalam fi Dzammil Kalam (Kata Putus Dalam Celaan Terhadap Ilmu Kalam), al-Qoulul Musyriq fi Tahrimil Isytighol bil Manthiq (Untaian Cerah Tentang Haromnya Menyibukkan Diri Dengan Manthiq),
Shounul Manthiq Wal Kalam ‘an Fannil Manthiqi Wal Kalam (Menjaga Ucapan dan Kalam Tentang Seni Manthiq dan Ilmu Kalam),
dan Jahdul Qorihah fi Tajridin Nashihah (Upaya Maksimal Dalam Memberi Nasehat) yang merupakan ringkasan
dari kitab Syaikhul Islam (yakni: ar-Roddu
‘alal
Manthiqiyyin (Bantahan Terhadap Ahli Manthiq)).
1. Lihat: Minhajus Sunnah 3/286 dan Bughyatul Murtad Hal. 183
2. Talbis Iblis Hal. 48
3. Fatwa Ibnu Sholah
1/209-212/Beirut/1406/Tahqiq: Qal’aji
4. Ibid 1/199, di sisni sesuai perkataannya dengan Ibnul Jauzi bahwa
mendalami filsafat merupakan bentuk makar syaithan.
5. Mukaddimah Naqdhul Manthiq
Hal.5/Kairo/1370/Tahqiq Muhammad Abudurrazzaq Hamzah dan yang
lainnya.
6. Dan dia yang dikenal Ar-Raddu
‘Alal
Manthiqiyyin
7. Mizanul I’tidal 3/144 no.5885
8. Miftah Daris Sa’adah 1/167
9. Lihat Al-Muqaddimah Hal. 671, 673, 674, 676, 677 secara berurutan.
10. Siar
A’lamin Nubala’ 17/15, 123
11. Lihat
Tarjih Asalibil Quran Hal.
7/Mesir/1349 H.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar