Sabtu, 31 Maret 2018

PENDAPAT ULAMA ISLAM TERHADAP FILSAFAT


DEFINISI FILSAFAT SECARA BAHASA DAN ISTILAH


Lafadh filsafat diambil dari bahasa Yunani, asalnya: Fila-Sufia (artinya; Cinta Hikmah). Fila atau filu mempunyai arti pencinta dan sufia bermakna hikmah, sehingga dari asal itu sebutan filosof bermakna orang pencinta hikmah.1
Para pakar filsafat sendiri kesulitan mendefinisikan makna filsafat, semua sumber yang berhasil penulis temukan sebatas penyebutan ciri, sifat, bidangnya dan lainnya.

1. Lihat: al-Farqu Bainal Firaq Abdul Qohir al-Baghdadi 2/58, Minhajus Sunnah Ibnu Taimiyyah 1/359, Muqoddimah Ibnu Kholdun 2/671, Mabadi al-Falsafah Rabu Bart hal. 19 (Beirut, 1976) Terjemah: Ahmad Amin, Tarikh Falasifatil Islam Muhammad Luthfi Jumah hal. 248 (Beirut, Maktabah Ilmiyyah), Qishshotul Iman Nadim Jasir hal. 111 (Beirut, al-Maktabul Islami cet. 3 (1389), al-Mujamul Falsafi jamil Sholiba 2/160 (Darul Kitab Lubnani, 1982).

APA YANG DIMAKSUD 'FILSAFAT ISLAM'??

Pendahulu umat ini tidak pernah merasa bangga dengan sesuatu sebagaimana bangganya mereka terhadap Dienul Islam, Kitabulloh, Sunnah Rosulullloh صلي الله عليه وسلم; dan mereka tidak pernah membahas apa yang dinamakan “filsafat” karena mereka memang tidak membutuhkannya sama sekali.

Setelah semua sebab dan proses berlangsung melalui tangan orang-orang tertentu, masuklah filsafat dengan semua virus dan racunnya ke Negeri Islam. Tentu bukan filsafat murni, akan tetapi filsafat yang telah terkombinasi dengan ilmu-ilmu Islam, kombinasi yang terlampau dipaksakan, karena mengkombinasikan dua ilmu yang saling berlawanan, nantinya dikenal sebagai “Filsafat Islam”.


KOMENTAR ULAMA TERHADAP FILSAFAT

Berikut ini selayang pandang sikap para ulama semenjak munculnya benih-benih filsafat hingga tersebarnya di kalangan masyarakat muslim:
  • Di antara orang-orang yang mempunyai sikap keras dan tegas terhadap filsafat adalah Imam Abu Hanifah an-Numan رحمه الله. Berkata Nuh Jami: “Aku berkata kepada Abu Hanifah: “Apa pendapat anda tentang perkara yang dibuat orang dengan pembicaraan mereka tentang sifat batin dan jisim?”Beliau menjawab: “(Itu) perkataan para filosof, hendaklah engkau (berpegang) dengan Sunnah dan jalan salaf, dan jangan sekali-kali engkau membuat sesuatu yang baru karena hal tersebut merupakan bid'ah.” 1
  • Di antara mereka, Abu Faroj Abdurrohman bin al-Jauzi رحمه الله (meninggal 597 H), dia menggolongkan orang yang disibukkan dengan filsafat sebagai orang yang telah terperangkap jerat setan tanpa mereka sadari. Beliau berkata: “Iblis telah memasang jeratnya terhadap beberapa kelompok dari orang-orang yang seagama dengan kita. Iblis tersebut masuk kepada mereka dari pintu kecerdasan dan kejeniusan mereka, dia perlihatkan kepada mereka bahwa kebenaran hanya dengan mengikuti filsafat karena mereka adalah para filosof, yang keluar dari ucapan mereka perbuatan dan perkataan yang menunjukkan puncak dari kecerdasan dan kematangan dalam cara berpikir.2
  • Abu Amr bin Utsman bin Abdurrohman yang dikenal sebagai Ibnu Sholah رحمه الله (meninggal 643 H). ketika ditanya tentang manthiq dan filsafat, beliau menjawab dalam fatwanya yang masyhur-: “Filsafat adalah induk kebodohan dan penghalalan terhadap semua yang diharomkan syari'at, sumber kebingungan dan kesesatan, dan membuat penyelewengan dan kezindikan. Adapun manthiq adalah pintu menuju filsafat dan pintu kejahatan adalah kejahatan, syari'at tidak membolehkan seseorang menyibukkan diri dengannya, tidak dari para sahabat, tabi'in, para ulama mujtahid dan salafush-sholih maupun orang-orang yang mengikuti mereka.” 3
Alasan (keluarnya) hukum yang jelas dan tegas ini sebagaimana yang beliau katakan: “Syari'at beserta ilmu-ilmunya telah sempurna, dan para ulamanya telah menyelami ke dalam lautan hakikatnya yang sekiranya tidak memerlukan filsafat dan para filosof, barangsiapa menibukkan dirinya dengan manthiq dan filsafat karena suatu faedah maka setan telah menipunya.” 4
  • Syaikhul Islam Ahmad bin Taimiyyah رحمه الله (meninggal 728 H), dia adalah orang yang paling banyak membantah dan memfokuskan diri terhadap bahaya manthiq dan filsafat, serta menyebutkan sanksi yang diberikan syari'at terhadap yang mempelajari keduanya.
Kritikan beliau terhadap filsafat memiliki cara dan metode khusus; beliau terjun langsung menyelami dasarnya, berenang di atas ombaknya, dan mempelajarinya secara mendalam mengalahkan pakar-pakar filosof sendiri dan melebihi mereka dalam menjabarkan kaidah-kaidahnya, sehingga memungkinkan bagi beliau menerangkan apa yang terkandung di dalamnya dari kebatilan. Berkata Syaikh Abdurrohman al-Wakil رحمه الله: “Cukuplah bagi anda bahwasannya beliau yaitu Ibnu Taimiyyah- lebih mendahului para filosof Barat dan para pemikir mereka dalam membantah manthiq Aristoteles, menerangkan apa yang terkandung dari kelemahan dan kerancuan, dan cukuplah bagi anda bahwasannya beliau bertarung melawan para filosof thoghut manusia dan sumber fitnah bagi mereka-, maka kemenangan dan kejayaan selalu bersamanya, bersenjatakan dengan nash yang shohih dan akal yang sehat dalam pertarungan tersebut, dan beliau mengkombinasikan dua kekuatan tersebut.”5
Sebenarnya karya ilmiah yang ditulis Ibnu Taimiyyah dalam metode membantah filsafat dan manthiq masih menunggu orang yang mengkajinya dengan kajian secara mendalam dan teliti, dan usaha tersebut tersebar disemua karya beliau yang sangat banyak, di samping kitab-kitab dan risalah-risalah yang beliau khususkan untuk membantah mereka. Di antara kitab yang mengandung bantahan kepada mereka ialah: Dau Taarudhil Aql wan Naql (Penolakan Terhadap Dakwaan Akal Dan Naql Saling Bertentangan), Minhajus Sunnah, Bughyatul Murtad, Ash-Shofadiyyah, al-Istiqomah, dan Naqdhu Tasisil Jahmiyyah (Bantahan Dasar Pemahaman Jahmiyyah). Dan di antara kitab khusus dalam membantah filsafat dan manthiq: Nashihatu Ahlil Iman fir Roddi ala Manthiqil Yunan (Nasehat Ahli Iman Dalam Bantahan Ahli Manthiq Yunani6), Naqdhul Manthiq (Bantahan Manthiq), dan yang lainnya dari kitab dan risalah-risalah kecil.
Metode bantahan beliau terhadap filsafat, secara global mencakup dua segi:
(1). Menerangkan kesalahan filsafat secara akal yang sehat,
(2). Menerangkan kesalahannya secara naql (nash) yang shahih
Tidak diragukan lagi bahwa sisi pertama memakan banyak tenaga dan waktu beliau, karena mereka mengaku berpegang dengan akal, sehingga banyaklah yang tertipu oleh mereka. Sedangkan segi kedua, segi inilah yang berhubungan dengan pembahasan kita disini, yaitu beliau menerangkan bahwa filsafat adalah suatu hal dan agama adalah hal lain (yakni tidak berhubungan satu sama lain, red.).
  • Al-Hafidh Syamsuddin Muhammad bin Ahmad adz-Dzahabi رحمه الله (meninggal 748 H). Beliau salah seorang yang menimba ilmu dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah رحمه الله, dan karangan-karangannya dipenuhi tentang sikap beliau terhadap filasafat dan ilmu kalam pada setiap kesempatan. Beliau berkata tentang biografi Ali bin Abdulloh az-Zaghuni-: “Bahkan sedikit sekali yang mendalami ilmu kalam kecuali ijtihadnya membawa kepada perkataan yang bertentangan dengan Sunnah. Oleh karenanya, para ulama salaf mencela orang yang mempelajari ilmu orang yang terdahulu, karena ilmu kalam lahir dari perkataan para filosof (penganut mazhab) Dahriyyah. Barangsiapa mengkombinasikan antara ilmu para anbiya dan dengan ilmu para filosof bermodal kecerdasannya, mestilah ia mendapat pertentangan; sebaliknya siapa yang berhenti dan berjalan di belakang para rosul, dengan mendiamkan apa yang mereka diamkan dan mereka tidak berlebih-lebihan dan tidak memperdalam karena para Rasul Alaihissalam mendiamkan dan tidak memperdalamnya, maka dia telah berjalan di atas jalan salafus-sholih, selamatlah agama dan keyakinannya. Kita memohon kepada Allah عزّوجلّ keselamatan dalam agama.” 7
  • Dan di antara mereka, pewaris Syaikhul Islam dalam ilmu dan muridnya yang jenius, Abu Abdillah Muhammad bin Abu Bakr yang terkenal sebagai Ibnul Qayyim al-Jauziyyah رحمه الله, beliau telah menguras tenaganya sebagaimana gurunya- dalam membantah seluruh kelompok yang sesat, terutama orang-orang rasionalis yang berusaha mengkombinasikan antara kaidah-kaidah manthiq dan kesesatannya dengan pokok-pokok dasar Islam. Di antara perkataannya membantah orang yang mendakwakan bahwa belajar manthiq adalah fardhu ain atau fardhu kifayah: “Mempermasalahkan hal ini hanya memperturutkan hawa nafsu, karena ilmu tersebut lebih layak disebut suatu kebodohan daripada suatu ilmu yang hukum mempelajarinya fardhu ain atau fardhu kifayah. Inilah Syafii dan Ahmad serta para imam yang lainnya dan karangan-karangan mereka. Bagi siapa yang mau memperhatikannya, apakah mereka memperhatikan batasan-batasan manthiq dan ragamnya? Apakah ilmu mereka sah tanpa hal itu? Sebaliknya, mereka lebih agung dan lebih besar dalam segi pemikiran daripada menyibukkan diri dengan igauan ahli manthiq. Tidaklah ilmu manthiq berada pada suatu ilmu, kecuali dia akan merusaknya dan mengubah bentuknya serta dia kacaukannya kaidahnya.”8
  • Al-Allamah Abdurrohman bin Kholdun رحمه الله (meninggal 808 H). Ketika membuat suatu pasal dalam muqoddimah kitab Tarikhnya dengan judul “Pasal: Tentang batalnya filsafat dan rusak pemahaman penganutnya”, beliau mengkritik banyak dari dasar-dasar filsafat yang sangat berbahaya dan merupakan pelecehan terhadap aqidah. Misalnya, beliau membantah mereka seperti: “Sandaran wujud kepada akal”, karena akal menurut mereka adalah falak; sebagaimana juga beliau membantah mereka dalam memasukkan semua di belakang alam ke dalam filsafat, dan perkataan mereka bahwa Ilahiyat tidak akan bisa mencapainya secara yakin, perkataan mereka: “Sesungguhnya kebahagiaan adalah mengetahui wujud dan marifah saja.” Perkataan mereka: “Sesungguhnya manusia dapat dengan sendirinya menyucikan diri dan memperbaikinya.”
Beliau berkata tentang buku-buku filsafat yang terjemahannya telah tersebar luas pada masanya: “Hendaklah orang yang membacanya berhati-hati semampunya terhadap marabahayanya, dan hendaklah bagi yang akan membacanya telah kenyang dahulu dengan ilmu syari'at dan telah menelaah tafsir dan fiqih, dan janganlah seseorang terjun ke dalamnya sedangkan dia dalam keadaan kosong dari ilmu agama, sangat sedikit orang yang selamat dari kerusakannya.”9
Jika seandainya kita bercerita tentang Ibnu Kholdun al-Ifriqi, sangat bagus kita menyebutkan tindakan yang diambil oleh Raja al-Manshur perdana menteri kerajaan-kerajaan Andalus Abu Amir Muhammad bin Abdulloh bin Abu Amir (339 H) karena dia telah berjasa dalam memerangi filsafat yang dibuat-buat oleh orang. Beliau ini menggunakan kekuasaannya, karena beliau memegang tampuk kekuasaan dari Hisyam bin al-Hakam yang menjadi khalifah padahal umurnya masih Sembilan tahun, sedang orang tua Hisyam sangat gemar mengoleksi kitab-kitab filsafat dan manthiq; maka dengan sengaja Ibnu Amir pergi keperpustakaan Hikam, kemudian beliau keluarkan semua yang ada di dalamnya dari kitab-kitab filsafat, kecuali kitab kedokteran dan hisab, kemudian dia perintahkan untuk dibakar di hadapan para ulama.10
  • Muhammad bin Ibrohim al-Yamin yang dikenal sebagai Ibnul Wazir رحمه الله (meninggal 840 H). Ia menerangkan tentang kebobrokan filsafat dan menghancurkan pemahaman mereka dalam sebuah karangannya yang dia beri judul Tarjih Asalibil Quran ala Asalibil Yunan (Membenarkan Metode al-Qur'an dari Metode Yunani), di kitab ini beliau mentaqrir bahwa di dalam al-Qur'an al-Karim telah terkumpul ilmu yang paling shohih dan ilmu yang paling jelas yang dapat dipahami oleh akal, sebagaimana juga mencakup amalan yang paling mulia dan paling mudah bagi manusia, serta di dalamnya dalil-dalil akal yang mengalahkan ilmu manthiq dan ilmu kalam yang tidak lepas dari pemahaman yang dibuat-buat dan dipaksakan dalam permasalahan yang ringan dan yang mendasar, dan tidak ada di dalamnya metode para filosof dan ahli kalam.11
  • Jalaludin as-Suyuthi رحمه الله (meninggal 911 H) mempunyai jasa yang patut dipuji dalam bentahannya terhadap manthiq. Beliau mengarang kitab Fashlul Kalam fi Dzammil Kalam (Kata Putus Dalam Celaan Terhadap Ilmu Kalam), al-Qoulul Musyriq fi Tahrimil Isytighol bil Manthiq (Untaian Cerah Tentang Haromnya Menyibukkan Diri Dengan Manthiq), Shounul Manthiq Wal Kalam an Fannil Manthiqi Wal Kalam (Menjaga Ucapan dan Kalam Tentang Seni Manthiq dan Ilmu Kalam), dan Jahdul Qorihah fi Tajridin Nashihah (Upaya Maksimal Dalam Memberi Nasehat) yang merupakan ringkasan dari kitab Syaikhul Islam (yakni: ar-Roddu alal Manthiqiyyin (Bantahan Terhadap Ahli Manthiq)).
1. Lihat: Minhajus Sunnah 3/286 dan Bughyatul Murtad Hal. 183
2. Talbis Iblis Hal. 48
3. Fatwa Ibnu Sholah 1/209-212/Beirut/1406/Tahqiq: Qalaji
4. Ibid 1/199, di sisni sesuai perkataannya dengan Ibnul Jauzi bahwa mendalami filsafat merupakan bentuk makar syaithan.
5. Mukaddimah Naqdhul Manthiq Hal.5/Kairo/1370/Tahqiq Muhammad Abudurrazzaq Hamzah dan yang lainnya.
6. Dan dia yang dikenal Ar-Raddu Alal Manthiqiyyin
7. Mizanul Itidal 3/144 no.5885
8. Miftah Daris Saadah 1/167
9. Lihat Al-Muqaddimah Hal. 671, 673, 674, 676, 677 secara berurutan.
10. Siar Alamin Nubala 17/15, 123

11. Lihat Tarjih Asalibil Quran Hal. 7/Mesir/1349 H.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar