Beliau
adalah Muhammad bin Isma'il bin Ibrahim bin Mughirah bin Bardizbah. Dilahirkan
di Bukhara selepas shalat Jum'at, tepatnya tanggal 13 Syawal 194 H. Ayah Imam
al-Bukhari, seorang yang bertakwa dan wara', sempat belajar dari Imam Malik رحمه الله dan berjumpa Hammad bin Zaid dan
Ibnul Mubarak Namun Allah berkehendak mewafatkannya saat Imam al-Bukhari masih
kanak-kanak. Karena itu, beliau tumbuh dan berkembang dalam tarbiyah dan
asuhan sang ibu.
Pada masa
kanak-kanak, Muhammad bin Ismail sempat mengalami kebutaan. Suatu malam, sang Ibu bermimpi melihat Ibrahim
al-Khalil alihis salam dan berkata kepada ibunya, "Wahai wanita,
Allah telah mengembalikan penglihatan kepada anakmu karena engkau banyak
menangis (banyak berdoa)". Di pagi harinya, penglihatan putranya kembali
normal.
Imam
al-Bukhari رحمه الله memulai perjalanan ilmiahnya
sejak dini. Beliau telah menghafalkan al-Qur'an semenjak kecil juga. Inilah
salah satu faktor Allah عزّوجلّ mengilhamkan pada Muhammad bin
Isma'il kecil untuk menyenangi menghafal hadits-hadits Nabi صلى الله عليه وسلم.
Imam
al-Bukhari رحمه الله menceritakan, "Aku diberi
ilham untuk menghafal hadits sejak aku masih di madrasah. Saat itu, usiaku
sekitar 10 tahun, hingga aku keluar dari madrasah itu pada usia 10 tahun. Aku
mulai belajar kepada ad-Dakhili dan ulama lainnya. Suatu saat, beliau
membacakan satu hadits di hadapan orang-orang (dengan sanad dari) Sufyan, dari
Abu Zubair dari Ibrahim. Maka aku berkata kepadanya, "Sesungguhnya Abu Zubair tidak meriwayatkan
(hadits) dari Ibrahim". la pun menghardikku. Lantas aku berkata,
"Coba telitilah kembali kitab aslinya". la pun memasuki rumah dan
meneliti kembali, kemudian keluar dan bertanya, "Bagaimana penjelasannya
wahai anak muda?". Aku menjawab, "(Yang dimaksud) adalah Zubair bin
Adi dari Ibrahim..". Beliau lantas mengambil penaku dan
mengoreksi kitabnya, seraya berkata, "Engkau benar".
Imam
al-Bukhari رحمه الله juga pernah menceritakan,
"Aku pernah belajar kepada para fuqaha Marw. Saat itu aku masih kanak-kanak.
Jika aku datang menghadiri majlis mereka, aku malu mengucapkan salam kepada
mereka. Salah seorang dari mereka bertanya kepadaku, "Berapa banyak
(hadits) yang telah engkau tulis?". Aku menjawab, "Dua
(hadits)". Orang-orang yang hadir pun tertawa. Lalu salah seorang Syaikh
berkata, "Janganlah kalian menertawakannya. Bisa jadi suatu saat nanti
justru dia yang menertawakan kalian".
Demikianlah
gambaran bakat keilmuannya telah tampak. Pada usia 16 tahun, beliau sudah
menghafal kitab karangan Imam Waki' رحمه الله dan Ibnul Mubarak رحمه الله. Kemudian pada usia 17 tahun, beliau telah dipercaya
oleh salah seorang gurunya Muhammad bin Salam al-Bikandi untuk mengoreksi
karangan-karangannya.
Bersama Ibu
dan saudaranya, pada usia 18 tahun, Muhammad bin Isma'il pergi haji ke Mekah.
Beliau tetap bertahan di kota suci itu untuk meneruskan mendalami hadits bersama para Ulama di sana, sementara
keluarga beliau pulang.
GURU-GURU BELIAU
Pertama-tama,
Imam al-Bukhari menimba ilmu dari Ulama setempat. Beliau berguru kepada
Muhammad bin Salam al-Bikandi, Abdullah bin Muhammad bin 'Abdullah bin Ja'far
bin Yaman al-Ju'fi al-Musnidi, dan ulama lainnya. Selanjutnya, beliau keluar
dari kampung halamannya dan mengembara mendatangi banyak kota untuk memperdalam
ilmu hadits.
Kota Balkh,
Naisabur, Ray, Baghdad, Bashrah, Kufah, Mekah, Madinah, Mesir, Syam, beliau
datangi dalam rangka mencari dan mendatangi Syaikh-Syaikh mumpuni dalam bidang
hadits. Tak pelak, Syaikh (guru) beliau pun berjumlah banyak, bahkan beliau
sendiri yang menyatakan hal ini, "Aku menulis (hadits) dari seribu lebih
syaikh. Dari setiap Syaikh itu, aku tulis sepuluh ribu riwayat bahkan lebih.
Tidaklah ada hadits padaku kecuali aku sebutkan sanadnya (juga)". (Lihat as-Siyar:12/407, al-Bidayah 11/22)
Sebelum
meninggal, Imam al-Bukhari رحمه الله pernah menyatakan, "Aku
telah menulis (hadits) dari 1080 orang. Semuanya adalah ahlul hadits. Mereka
semua meyakini, Iman adalah qaul dan amal, berrtambah dan berkurang'. (as-Siyar:12/395)
Kota Baghdad
beliau masuki sampai delapan kali. Dan setiap memasukinya, beliau berjumpa dan
berkumpul dengan Imam Ahmad bin Hanbal رحمه الله. Imam Ahmad menganjurkan beliau untuk bermukim di
Baghdad saja, tidak di Khurasan.
Di antara
nama Ulama besar yang menjadi guru beliau: Imam Ishaq bin Rahuyah, Imam
Muhammad bin Yusuf al-Firyabi, Imam Abu Nu'aim Fadhl bin Dukain, Imam Ahmad bin
Hanbal, Imam Ali bin al-Madini, Imam Yahya bin Ma'in, Imam Makki bin Ibrahim
al-Balkhi, Abdan bin Utsman, Imam Abu Ashim an-Nabil, Muhammad bin Isa
ath-Thabba', Khalid bin Yazid al-Muqri" murid Imam Hamzah, dan masih
banyak lagi.1
Tidak
mengherankan bila jumlah guru beliau sangat banyak. Tampaknya jumlah guru yang
besar ini disebabkan oleh dua faktor: (1) Imam al-Bukhari رحمه الله memulai perjalanan ilmiahnya
sejak belia dan (2) banyak kota yang beliau datangi untuk tujuan yang mulia
tersebut.
1. Cukup banyak
Ulama yang membukukan nama-nama guru Imam al-Bukhari dalam kitab khusus, di
antaranya, Asami Syuyukhi al-Bukhari karya Hasan bin Muhammad
ash-Shaghani, Tanqihu Rijali al-Bukhari karya Muhammad bin Yusuf
al-Karmani, at-Ta'rif bi Syuyukhi al-Bukhari karya al-Hafizh Husain bin
Muhammad al-Ghassani dan lainnya. DR. Badr al-'Ammasy menyebutkan 35 judul
kitab dalam masalah ini. Lihat Asami man rawa 'anhum Muhammad bin Isma'il
al-Bukhari, al-Hafizh Ibnu 'Adi al-Jurjani, tahqiq Badr bin Muhammad
al-'Ammasy, hlm.46-53
INGATAN FOTOGENIC
Kekuatan
hafalan Imam al-Bukhari رحمه الله sudah terakui oleh para Ulama di
masanya. Bahkan banyak yang menyampaikan kalau beliau langsung menghafal suaru
kitab hanya dengan membacanya sekali saja.
Hasyid bin
Isma'il pernah menceritakan, "Dahulu Abu Abdillah (Imam al-Bukhari)
bersama kami mendatangi para guru Bashrah. Waktu itu ia masih belia, dan tidak
(tampak) mencatat apa yang telah didengar. Hal itu berlangsung beberapa hari.
Kami pun bertanya kepadanya, "Engkau menyertai kami mendengarkan hadits,
tanpa mencatatnya. Apa yang kamu perbuat sebenarnya? Enam belas hari kemudian,
Imam al-Bukhari رحمه الله akhirnya menjawab, 'Kalian telah
sering bertanya dan mendesakku. Coba tunjukkanlah apa yang telah kalian tulis'.
Maka kami mengeluarkan apa yang kami miliki yang berjumlah lebih dari 15 ribu
hadits. Selanjutnya, ia menyebutkan seluruhnya dengan hafalan, sampai akhirnya
kami membenahi catatan-catatan kami melalui hafalannya. Kemudian ia berkata,
"Apa kalian sangka aku bersama kalian hanya main-main saja dan
menyia-nyiakan hari-hariku?!" Maka, kami pun sadar, tidak ada seorang pun yang melebihinya'.1
Kehebatan
hafalan beliau juga tampak ketika Ulama Baghdad mendengar akan kedatangan Abu
'Abdillah (Imam al-Bukhari) ke kota mereka. Dengan sengaja, mereka itu
mempersiapkan seratus hadits dan kemudian menukar dan merubah matan dan
sanadnya. Mereka menukar matan satu sanad dengan teks hadits yang lain, dan
begitu sebaliknya. Setiap orang memegangi sepuluh hadits yang nantinya akan
dilontarkan kepada Abu Abdillah sebagai bahan ujian kekuatan hafalannya.
Orang-orang
pun berkumpul di dalam majlis. Orang pertama menanyakan kepada Imam al-Bukhari رحمه الله sepuluh hadits yang ia miliki satu persatu. Setiap
kali ditanya, Imam al-Bukhari menjawab, sampai hadits yang kesepuluh,
"Saya tidak mengenalnya (hadits itu dengan sanad yang disebutkan). Para
Ulama yang hadir pun saling menoleh kepada yang lain dan berkata, "Orang
ini (benar-benar) paham". Sementara orang yang tidak tahu tujuan majlis
itu diadakan menilai Imam al-Bukhari رحمه الله sebagai orang yang lemah hafalannya.
Kemudian
tampillah orang kedua, melakukan hal yang sama. Dan setiap kali mendengarkan
satu hadits, beliau berkomentar sama, "Aku tidak mengenalnya".
Selanjutnya tampil orang ketiga sampai orang terakhir. Dan komentar beliau
pun" tidak lebih dari ucapan, 'Aku tidak mengenalnya".
Setelah
semua selesai menyampaikan hadits-haditsnya, Imam al-Bukhari رحمه الله menoleh ke arah orang pertama
seraya meluruskan, "Haditsmu yang pertama mestinya demikian, yang kedua
mestinya demikian, yang ketiga mestinya demikian, sampai membenarkan hadits
yang kesepuluh. Setiap hadits beliau satukan dengan matan-matannya yang benar.
Beliau melakukan hal yang sama kepada para 'penguji' lainnya sampai pada orang
yang terakhir. Akhirnya, orang-orang pun betul-betul mengakui akan kehebatan
hafalan beliau.2
Di
Samarkand, beliau pun menghadapi hal yang sama. Empat ratus ulama hadits
menguji beliau dengan hadits-hadits yang sanad-sanad dan nama rijal (para perawi) yang telah dicampuradukkan,
menempatkan sanad penduduk Syam ke dalam sanad penduduk Irak, meletakkan matan
hadits bukan pada sanadnya. Lantas, mereka membacakan hadits-hadits dan
sanad-sanadnya yang sudah campur-aduk ini ke hadapan Imam al-Bukhari رحمه الله. Dengan sigap, beliau mengoreksi semua hadits dan
sanad itu dan menyatukan setiap hadits dengan sanadnya yang benar. Para Ulama
yang menyaksikan itu, tidak mampu menjumpai satu kesalahan dalam peletakan
matan maupun penempatan posisi para perawi. (Lihat as-Siyar 12/411, al-Bidayah
11/22)
Dua kejadian
ini sudah sangat cukup menjadi petunjuk akan kekuatan dan kekokohan daya ingat
Imam al-Bukhari رحمه الله, sebab tanpa persiapan sedikit
pun dan tidak mengetahui apa yang akan ia hadapi , ternyata beliau mampu
melewati 'ujian' tersebut.
Abu Ja'far
pernah menanyakan kepada Abu Abdillah, "Apakah engkau hafal seluruh
(riwayat) yang engkau masukkan dalam kitabmu?". "Tidak ada yang kabur
pada (hafalan)ku seluruhnya". (As-Siyar:12/403)
Abu Abdillah
pernah bercerita tentang dirinya, "(Suaru ketika) aku mengingat-ingat
murid Anas. Dalam sekejap 300 orang terbetik dalam ingatanku".
Mengenai
cara menghasilkan daya ingat yang kuat, beliau tidak memandang adanya makanan
atau minuman yang perlu dikonsumsi seseorang untuk menguatkan hafalannya. Kata
beliau:
لاَأَعْلَمَ شَيْئًا
أَنْفَعَ لِلْحِفْظِ مِنْ نَهْمَةِ الرَّجُلِ وَمُدَاوَمَةِ النَّظَرِ
Aku tidak
mengetahui sesuatu yang lebih bermanfaat (menguatkan) hafalan daripada
keinginan kuat seseorang dan sering menelaah (tulisan).3
1. as-Siyar.12/407
2. Lihat
hlm.62-63, Siyar 12/409, al-Bidayah wan Nihayah:11/22
3. as-Siyar, 12/406
Gelar Amirul
Mukminin dalam bidang hadits yang melekat pada Imam al-Bukhari رحمه الله sudah tentu
berlatar belakang akan kedalaman penguasaannya -yang mengungguli lainnya-
terhadap hadits dan ilmu-ilmu yang berkaitan dengannya; pemahaman, hafalan dan
seluk-beluk terkait derajat rijalul hadits (para perawi hadits). Aspek
banyaknya hafalan beliau terhadap hadits pun pastilah sangat menonjol. Hal ini
sudah diakui dan diceritakan oleh murid-murid beliau maupun Ulama lainnya.
Saking
banyaknya hadits shahih yang beliau hafal, Imam Al-Fallas رحمه الله sampai berkata, "Setiap hadits yang tidak dikenal
oleh al-Bukhari bukanlah hadits shahih".1
Tidak hanya
hadits shahih saja yang beliau hafalkan, hadits-hadis yang tidak shahih juga
menjadi perhatian beliau. Imam al-Bukhari رحمه الله pernah berkata, "Aku menghafal seratus ribu
hadits shahih, dan dua ratus ribu hadits yang tidak shahih".2
1. al-Bidayah, 11/23
2. as-Siyar 12/415, Tahdzibul Kamal, no.1172
PUJIAN DARI ULAMA
Melihat
reputasinya, pantaslah beliau mendapat pujian. Pujian mengalir kepada Imam
al-Bukhari dari para Ulama di masa itu, baik dari guru-guru maupun teman-temannya.
Imam Ahmad bin Hanbal (salah seorang gurunya) mengatakan, 'Negeri Khurasan
tidak pernah melahirkan seperti dirinya'. Ini jelas merupakan syahddah
(persaksian) yang sangat istimewa karena disampaikan oleh Imam Ahli Sunnah wal
Jamaah.
Imam Ishaq
bin Rahuyah رحمه
الله
(gurunya) berkata, "Seandainya dia (al-Bukhari) hidup di masa Hasan
al-Bashri رحمه الله pastilah orang-orang membutuhkannya karena penguasaan dan
pemahamannya terhadap hadits".
Muhammad bin
Basysyar (gurunya) berkata, "Huffazh (Ahli
Hadits) di dunia ada empat: Abu Zur'ah dari Ray, ad-Darimi dari Samarkand,
Muhammad bin Ismail dari Bukhara dan Muslim dari Naisabur".
Imam
Qutaibah رحمه الله berkata, "Seandainya
Muhammad (bin Ismail al-Bukhari) hidup di kalangan Sahabat maka ia adalah
mukjizat".
Imam Raja
al-Hafizh رحمه الله mengatakan, "la adalah
salah satu tanda kekuasaan Allah yang berjalan di atas bumi".
Imam Ibnu
Khuzaimah رحمه الله (salah seorang muridnya)
berkata, Aku belum pernah melihat di bawah langit orang yang lebih mengetahui
hadits Rasulullah, lebih kuat hafalannya daripada Muhammad bin Isma'il
al-Bukhari رحمه الله.
Imam
at-Tirmidzi رحمه الله (salah seorang muridnya)
berkata, "Aku belum pernah melihat di Irak, tidak juga di Khurasan,
seseorang yang lebih paham tentang 'ilal, tarikh dan pengetahuan
mengenai sanad hadits dibandingkan Muhammad bin Isma'il".
WAFATNYA BELIAU
Usai mengisi
hari-hari kehidupannya dalam kesibukan menyebarkan ilmu (hadits), ajal yang
telah ditentukan menjemput Imam al-Bukhari رحمه الله. Beliau sempat sakit sebelum meninggal. Wafat pada
malam Sabtu, malam hari raya Idul Fitri, tahun 256H dalam usia 62 tahun.
Jenazah beliau ditutup dengan tiga lembar kain putih, tanpa mengenakan qamis;
maupun imamah, sebagaimana isi wasiat yang beliau sampaikan sebelum meninggal.
Saat proses pemakaman jenazah, tersebar aroma wangi yang lebih harum dari
minyak misk dari kuburnya dan sempat bau harum itu bertahan selama beberapa
hari.
Banyak ilmu
bermanfaat yang telah beliau wariskan bagi seluruh kaum Muslimin. Ilmu beliau
tidak putus, tetap mengalir atas usaha-usaha baik yang telah curahkan dalam
hidupnya. Sebagaimana diriwayatkan Imam Muslim, Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda :
إِذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ
انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ: (مِنْهَا) عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ
Jika anak
Adam meninggal, maka terputuslah amalannya kecuali dari tiga perkara:
(diantaranya) ilmu yang bermanfaat.
Kitab-kitab
yang beliau wariskan kepada umat Islam yaitu Shahih al-Bukhari, al-Adabul
Mufrad, at-Tarikh ash-Shaghir, at-Tarikh al-Kabir, at-Tarikh al-Ausath, Khalqu
Af'ali al-'Ibad, juz fi al-Qira’ah khalfal Imam. Dan lainnya.
1.
Asami man rawa 'anhum Muhammad
bin Isma'il al-Bukhari, al-Hafizh Ibnu 'Adi al-Jurjani,
tahq'iq Badr bin Muhammad al-'Ammasy, hlm.60
Tidak ada komentar:
Posting Komentar