Syaikh Prof. Dr. Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin al-Abbad al-Badr حفظه الله
Ada
beberapa hal yang dapat saya ringkaskan setelah mencermati dan mengobservasi
pendapat para ulama rahimahumullâhu di dalam bab yang agung ini, yaitu
banyak faktor yang dapat menghantarkan kepada kemantapan dan langgengnya aqidah
di dalam diri pemiliknya dan terbebasnya dari segala bentuk perubahan dan
penyimpangan. Saya ringkaskan beberapa hal yang mudah bagi saya tentang hal ini
di dalam beberapa poin berikut :
Berpegang-teguhnya
ahlus sunnah kepada Kitâbullâh dan Sunnah Nabi-Nya Shallâllâhu ’alaihi wa
Sallam, keimanan mereka terhadap semua yang ada di dalam Kitâbullah dan
Sunnah Nabi-Nya ’alaihi ash-Sholâtu was Salâm dan keyakinan mereka secara
totalitas bahwa tidak boleh meninggalkan sedikitpun sesuatu yang ada di dalam
al-Kitâb dan as-Sunnah.
Namun
wajib bagi setiap muslim untuk mengimani dan membenarkan segala hal yang ada di
dalam Kitâbullâh dan Sunnah Nabi-Nya ’alaihi ash-Sholâtu was Salâm,
sehingga mereka mengimani seluruh nash (teks) yang terdiri atas
informasi-informasi tentang Allôh, nama-nama dan sifat-sifat-Nya, nabi-nabi-Nya,
hari akhir, al-Qodar dan yang semisal dengannya. Mereka wajib mengimaninya
secara ijmâl (global) dan tafshîl (terperinci), yaitu mengimani
secara global tentang segala hal yang diberitakan oleh Allôh Tabâroka wa
Ta’âlâ
dari perkara-perkara keimanan, dan mengimani secara terperinci setiap apa yang
Ia sampaikan kepada mereka berupa ilmu-Nya di dalam Kitabullâh dan Sunnah
Nabi-Nya.
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ
لَمْ يَرْتَابُوا
“Sesungguhnya
orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada
Allah dan Rasul-Nya, Kemudian mereka tidak ragu-ragu.” (QS al-Hujurât [49]:
15)
Beginilah
keadaan mereka terhadap semua nash-nash (teks) al-Kitâb da as-Sunnah, yaitu
menerima dan mengimani keseluruhannya. Keadaan mereka ini sebagaimana yang
diucapkan oleh sebagian ulama salaf:
من الله الرسالة، وعلى الرسول البلاغ، وعلينا التسليم
“Dari Allôh-lah Risalah berasal, kewajiban Rasul menyampaikannya
dan kewajiban kita adalah menerimanya.”
Siapa
saja yang berpegang teguh dengan Kitâbullâh dan Sunnah Nabi-Nya Shallâllâhu
‘alaihi wa Sallam, menaruh kepercayaan dan bersandar pada keduanya, niscaya
dia akan senantiasa mantap, selamat dan istiqomah serta jauh dari penyelewengan
dengan izin Allôh Tabâroka wa Ta’âlâ.
Syaikhul
Islâm Ibnu Taimiyah rahimahullâhu berkata:
جماع الفرقان بين الحق والباطل، والهدى والضلال، والرشاد والغي، وطريق
السعادة والنجاة وطريق الشقاوة والهلاك؛ أن يجعل ما بعث الله به رسله وأنزل به كتبه
هو الحق الذي يجب إتباعه، وبه يحصل الفرقان والهدى والعلم والإيمان، فيصدق بأنه حق
وصد ق، وما سواه من كلام سائر الناس يعرض عليه، فإن وافقه فهو حق، وإن خالفه فهو
باطل، وإن لم يعلم هل هو وافقه أو خالفه؛ لكون ذلك الكلام مجملاً لا يعرف مراد
صاحبه، أو قد عرف مراده، ولكن لم يعرف هل جاء الرسول بتصديقه أو تكذيبه، فإنه يمسك
فلا يتكلم إلا بعلم، والعلم ما قام عليه دليل، والنافع منه ما جاء به الرسول (مجموع
الفتاوى لابن تيميه 13/135-136)
“Al-Furqôn
(pembeda) yang terhimpun (untuk membedakan) antara kebenaran dengan kebatilan,
petunjuk dengan kesesatan, bimbingan lurus dengan penyelewengan, jalan
kebahagiaan dan kesuksesan dengan jalan kesengsaraan dan kebinasaan, adalah
untuk menjadikan risalah yang Allôh mengutus Nabi-Nya dengannya dan kitab-kitab
yang Ia turunkan adalah sebagai kebenaran yang wajib diikuti. Dengannya akan
diperoleh al-Furqôn, petunjuk, ilmu dan keimanan, sehingga dapat dibenarkan
bahwa wahyu-Nya adalah haq dan benar (lurus) sedangkan selainnya baik itu
perkataan semua manusia perlu ditimbang. Apabila selaras dengan wahyu Allôh maka
ia adalah kebenaran dan apabila menyelisihi maka ia adalah
kebatilan.
Apabila
tidak diketahui apakah ucapan tersebut sesuai atau menyelisihi wahyu, bisa jadi
karena ucapan tersebut adalah ucapan yang global sehingga tidak diketahui maksud
orang yang mengucapkannya, atau diketahui maksud ucapannya namun tidak diketahui
apakah Rasulullâh membenarkan atau mendustakannya, maka ucapan tersebut ditahan
(didiamkan) dan tidaklah dikomentari melainkan dengan ilmu. Ilmu adalah yang
ditegakkan di atasnya dalil dan ilmu yang bermanfaat adalah yang datang dari
Rasulullâh Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam.” (Majmu’ Fatâwâ karya Ibnu
Taimiyah XIII:135-136).
هذه خلاصة طريقة أهل السنة والجماعة – رحمهم الله – في هذا الباب
العظيم، يعولون على الكتاب والسنة، وذا التعويل نالوا السلامة والثبات، وكما قال
شيخ الإسلام – رحمه الله – في مقام آخر؛ بل كان كثيراً ما يقول: " من فارق الدليل
ضل السبيل، ولا دليل إلا ما جاء به الرسول (مفتاح دار السعادة لابن القيم - ص: 90)
Inilah
ringkasan manhajnya Ahlus Sunnah wal Jamâ’ah rahimahumullâhu di dalam bab
yang agung ini. Mereka meletakkan kepercayaan terhadap al-Kitâb dan as-Sunnah,
yang dengan kepercayaan inilah mereka memperoleh keselamatan dan kemantapan,
sebagaimana ucapan Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyah pada tempat yang lain, bahkan
cukup sering beliau mengatakan: “Barangsiapa menyelisihi dalil maka jalannya
akan sesat, dan tidak ada dalil melainkan apa yang didatangkan oleh Rasulullâh
Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam.” (Lihat: Miftâh Dâris Sa’âdah karya
Ibnul Qoyyim hal. 90).
Ibnu
Abîl Izz berkata di dalam Syarh (penjelasan) beliau terhadap al-Aqîdah
ath-Thohâwîyah: “Bagaimana mungkin menghendaki untuk memperoleh ilmu ushul
(ilmu dasar ~ aqidah) selain dengan apa yang didatangkan oleh Rasulullâh
Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam.” (Syarh al-‘Aqîdah ath-Thohâwîyah
hal. 18)
Artinya,
hal ini tidak mungkin dan mustahil. Jadi, kepercayaan mereka
rahimahumullâhu tehadap segala apa yang ada di dalam Kitâbullâh dan
Sunnah Nabi-Nya ‘alaihi ash-Sholâtu was Salâm dan bersandarnya mereka
kepada apa yang datang dari keduanya, merupakan penyebab utama mantapnya aqidah
mereka. Tidaklah mungkin seorang dari ahlus sunnah wal jamâ’ah
rahimahumullâhu mengada-adakan suatu aqidah dari dirinya sendiri, atau
mendatangkan suatu keyakinan atau agama yang berasal dari akal, perasaan atau
pemikirannya sendiri. Siapa saja yang melakukan hal seperti ini maka mereka
adalah ahlul ahwâ` (pengikut hawa nafsu), yang dengannya mereka tidak
memperoleh kemantapan (dalam aqidah) dan mayoritas keadaan mereka dalam keadaan
berubah-ubah dan labil, sebagaimana akan datang penjelasan hal
ini.
Adapun
Ahlus Sunnah, tidak ada seorangpun dari mereka yang membuat-buat suatu aqidah
dari diri mereka sendiri, namun mereka semua menaruh kepercayaan dan bersandar
kepada Kitâbullâh dan Sunnah Nabi-Nya Shallâllâhu ‘alaihi wa
Sallam.
Di
sini saya akan menukilkan perkataan Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyah rahimahullâhu
yang anggun, beliau berkata: “Tidaklah aqidah itu berasal dari diriku dan tidak
pula dari mereka yang lebih senior daripadaku (Yaitu: Bukanlah wewenangku untuk
mendatangkan suatu aqidah yang berasal dari diriku sendiri yang aku buat-buat
dan ada-adakan, bukan pula wewenang orang yang lebih senior dariku seperti Imam
Ahmad, asy-Syâfi’î, Mâlik dan selainnya dari para Imâm Islâm. Tidak ada
seorangpun dari mereka yang membuat-buat aqidah yang berasal dari diri mereka
sendiri), namun aqidah itu diambil dari Allôh Subhânahu wa Ta’âlâ,
Rasul-Nya Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam dan Ijma’ (konsensus)
salaf, diambil dari Kitâbullâh, dari hadits-hadits Bukhârî, Muslim dan selainnya
dari hadits-hadits yang diketahui, juga dari yang telah tetap dari Salaful
Ummah.” (Majmu` Fatâwâ III:203).
Beliau
rahimahullâhu juga berkata :
“Aqidahnya
asy-Syâfi’î radhiyallâhu ‘anhu dan aqidah para ulama salaf semisal Mâlik,
ats-Tsaurî, al-Auzâ’î, Ibnul Mubârok, Ahmad bin Hanbal dan Ishâq bin Râhawaih,
adalah aqidahnya para masyaikh teladan semisal al-Fudhail bin ‘Iyâdh, Abu
Sulaimân ad-Dârônî, Sahl bin ‘Abdillâh at-Tusturî dan selain
mereka.
Sesungguhnya
tidak ada pada para imam dan orang semisal mereka adanya perselisihan di dalam
ushuluddîn (pokok agama), demikian pula dengan Abu Hanîfah
rahmatullahi ‘alaihi, karena sesungguhnya aqidah yang tsabit (tetap) dari
beliau di dalam masalah tauhid, qodar dan semisalnya, adalah selaras dengan
aqidah para imam, dan aqidah para imam tersebut adalah sebagaimana aqidahnya
para sahabat dan tabi’in yang mengikuti mereka dengan cara lebih baik, yaitu
aqidah yang diucapkan oleh al-Kitâb dan as-Sunnah.” (Majmu’
Fatâwâ
V:25)
Jadi,
inilah pokok dan poin pertama diantara faktor-faktor penyebab mantapnya aqidah
di dalam jiwa pemiliknya, yaitu bersandar kepada al-Kitâb dan as-Sunnah. Tanpa
bersandar kepada kedua ini tidak akan memperoleh kemantapan, keselamatan dan
keistiqomahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar