Pluralisme Agama : Definisi dan Penyebarannya
Oleh : Adian Husaini
Pluralisme Agama (Religious Pluralism) adalah istilah khusus
dalam kajian agamaagama. Sebagai ‘terminologi khusus’, istilah ini tidak dapat
dimaknai sembarangan, misalnya disamakan dengan makna istilah ‘toleransi’,
‘saling menghormati’ (mutual respect), dan sebagainya. Sebagai satu paham
(isme), yang membahas cara pandang terhadap agamaagama yang ada, istilah
‘Pluralisme Agama’ telah menjadi pembahasan panjang di kalangan para ilmuwan
dalam studi agamaagama (religious studies).
Dan
memang, meskipun ada sejumlah definisi yang bersifat sosiologis, tetapi yang
menjadi perhatian utama para peneliti dan tokohtokoh agama adalah definisi
Pluralisme yang meletakkan kebenaran agamaagama sebagai kebenaran relatif dan
menempatkan agamaagama pada posisi ”setara”, apapun jenis agama itu. Bahkan,
sebagian pemeluk Pluralisme mendukung paham sikretisasi agama.
Pluralisme Agama yang dibahas dalam buku ini didasarkan pada satu
asumsi bahwa semua agama adalah jalan yang samasama sah menuju Tuhan yang sama.
Jadi, menurut penganut paham ini, semua agama adalah jalan yang berbedabeda
menuju Tuhan yang sama. Atau, mereka menyatakan, bahwa agama adalah persepsi
manusia yang relatif terhadap Tuhan yang mutlak, sehingga – karena
kerelativannya – maka setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim atau meyakini,
bahwa agamanya lebih benar atau lebih baik dari agama lain; atau mengklaim bahwa
hanya agamanya sendiri yang benar. Bahkan, menurut Charles Kimball, salah satu
ciri agama jahat (evil) adalah agama yang memiliki klaim kebenaran mutlak
(absolute truth claim) atas agamanya sendiri.1
Paham ini
telah menyerbu semua agama. Klaimklaim kebenaran mutlak atas masingmasing
agama diruntuhkan, karena berbagai sebab dan alasan. Di kalangan Yahudi,
misalnya, muncul nama Moses Mendelsohn (17291786), yang menggugat kebenaran
eksklusif agama Yahudi. Menurut ajaran agama Yahudi, kata Mendelsohn, seluruh
penduduk bumi mempunyai hak yang sah atas keselamatan, dan sarana untuk mencapai
keselamatan itu tersebar sama luas – bukan hanya melalui agama Yahudi seperti
umat manusia itu sendiri.2
Frans Rosenzweig, tokoh Yahudi lainnya, menyatakan, bahwa agama yang benar
adalah Yahudi dan Kristen. Islam adalah suatu tiruan dari agama Kristen dan
agama Yahudi.3
Salah satu teolog Kristen yang terkenal sebagai
pengusung paham ini, Ernst Troeltsch, mengemukakan tiga sikap populer terhadap
agamaagama, yaitu (1) semua agama adalah relatif. (2) Semua agama, secara
esensial adalah sama. (3) Semua agama memiliki asalusul psikologis yang umum.
Yang dimaksud dengan “relatif”, ialah bahwa semua agama adalah relatif,
terbatas, tidak sempurna, dan merupakan satu proses pencarian. Karena itu,
kekristenan adalah agama terbaik untuk orang Kristen, Hindu adalah terbaik untuk
orang Hindu. Motto kaum Pluralis ialah: “pada intinya, semua agama adalah sama,
jalanjalan yang berbeda yang membawa ke tujuan yang sama. (Deep down, all
religions are the same – different paths leading to the same goal).”4
Dalam tradisi Kristen, dikenal ada tiga cara
pendekatan atau cara pandang teologis terhadap agama lain. Pertama,
eksklusivisme, yang memandang hanya orang orang yang mendengar dan menerima
Bibel Kristen yang akan diselamatkan. Di luar itu tidak selamat. Kedua,
inklusivisme, yang berpandangan, meskipun Kristen merupakan agama yang benar,
tetapi keselamatan juga mungkin terdapat pada agama lain. Ketiga,
pluralisme, yang memandang semua agama adalah jalan yang samasama sah menuju
inti dari realitas agama. Dalam pandangan Pluralisme Agama, tidak ada agama yang
dipandang lebih superior dari agama lainnya. Semuanya dianggap sebagai jalan
yang samasama sah menuju Tuhan (all the religious traditions of humanity are
equally valid paths to the same core of religious reality. In pluralism, no one
religion is superior to any other; the many religions are considered equally
valid ways to know God).5
Tokoh lain penganut paham Pluralisme Agama
terkemuka di kalangan Kristen, yakni Prof. John Hick, menyatakan bahwa
terminologi “religious pluralism” itu merujuk pada suatu teori dari hubungan
antara agamaagama dengan segala perbedaan dan pertentangan klaimklaim mereka.
Pluralisme, secara ekplisit menerima posisi yang lebih radikal yang
diaplikasikan oleh inklusivisme: yaitu satu pandangan bahwa agama agama besar
mewujudkan persepsi, konsepsi, dan respon yang berbedabeda tentang “The Real”
atau “The Ultimate”. Juga, bahwa tiaptiap agama menjadi jalan untuk menemukan
keselamatan dan pembebasan.6
Intinya, John Hick – salah satu tokoh utama
paham religious pluralism mengajukan gagasan pluralisme sebagai
pengembangan dari inklusivisme. Bahwa, agama adalah jalan yang berbedabeda
menuju pada tujuan (the Ultimate) yang sama. Ia mengutip Jalaluddin Rumi
yang menyatakan: “The lamps are different but the light is the same; it comes
from beyond.” Menurut Hick, “the Real” yang merupakan “the final object of
religious concern”, adalah merupakan konsep universal. Di Barat, kadang
digunakan istilah “ultimate reality”; dalam istilah Sansekerta dikenal
dengan “sat”; dalam Islam dikenal istilah alhaqq.7
Pluralisme Agama berkembang pesat dalam
masyarakat KristenBarat disebabkan setidaknya oleh tiga hal: yaitu (1) trauma
sejarah kekuasaan Gereja di Zaman Pertengahan dan konflik KatolikProtestan, (2)
Problema teologis Kristen dan (3) problema Teks Bibel. Ketika Gereja berkuasa di
zaman pertengahan, para tokohnya telah melakukan banyak kekeliruan dan kekerasan
yang akhirnya menimbulkan sikap trauma masyarakat Barat terhadap klaim kebenaran
satu agama tertentu. Problema yang menimpa masyarakat Kristen Barat ini kemudian
diadopsi oleh sebagian kalangan Muslim yang ‘terpesona’ oleh Barat atau
memandang bahwa hanya dengan mengikuti peradaban Baratlah maka kaum Muslim akan
maju. Termasuk dalam hal cara pandang terhadap agamaagama lain, banyak yang
kemudian menjiplak begitu saja, cara pandang kaum Iklusifis dan Pluralis Kristen
dalam memandang agamaagama lain. Di Indonesia, penyebaran paham ini sudah
sangat meluas, baik dalam tataran wacana publik maupun bukubuku di perguruan
tinggi.8
Sebagai contoh, tokoh pembaruan Islam di
Indonesia, Prof. Dr. Nurcholish Madjid, menyatakan, bahwa ada tiga sikap dialog
agama yang dapat diambil. Yaitu, pertama, sikap eksklusif dalam melihat
agama lain (Agamaagama lain adalah jalan yang salah, yang menyesatkan bagi
pengikutnya). Kedua, sikap inklusif (Agamaagama lain adalah bentuk
implisit agama kita). Ketiga, sikap pluralis – yang bisa terekspresi
dalam macammacam rumusan, misalnya: “Agamaagama lain adalah jalan yang sama
sama sah untuk mencapai Kebenaran yang Sama”, “agamaagama lain berbicara secara
berbeda, tetapi merupakan Kebenarankebenaran yang sama sah”, atau “Setiap agama
mengekspresikan bagian penting sebuah Kebenaran”. Lalu, tulis Nurcholish lagi,
“Sebagai sebuah pandangan keagamaan, pada dasarnya Islam bersifat inklusif dan
merentangkan tafsirannya ke arah yang semakin pluralis. Sebagai contoh, filsafat
perenial yang belakangan banyak dibicarakan dalam dialog antar agama di
Indonesia merentangkan pandangan pluralis dengan mengatakan bahwa setiap agama
sebenarnya merupakan ekspresi keimanan terhadap Tuhan yang sama. Ibarat roda,
pusat roda itu adalah Tuhan, dan jarijari itu adalah jalan dari berbagai Agama.
Filsafat perenial juga membagi agama pada level esoterik (batin) dan eksoterik
(lahir). Satu agama berbeda dengan agama lain dalam level eksoterik, tetapi
relatif sama dalam level esoteriknya. Oleh karena itu ada istilah “Satu Tuhan
Banyak Jalan”.” Nurcholish Madjid juga menulis: “Jadi Pluralisme sesungguhnya
adalah sebuah Aturan Tuhan (Sunnat Allah, “Sunnatullah”) yang tidak akan
berubah, sehingga juga tidak mungkin dilawan atau diingkari.”9
Ulil Abshar Abdalla, mantan Koordinator
Jaringan Islam Liberal, juga menyatakan: “Semua agama sama. Semuanya menuju
jalan kebenaran. Jadi, Islam bukan yang paling benar.” (Majalah GATRA, 21
Desember 2002). Ia juga menulis: “Dengan tanpa rasa sungkan dan kikuk, saya
mengatakan, semua agama adalah tepat berada pada jalan seperti itu, jalan
panjang menuju Yang Mahabenar. Semua agama, dengan demikian, adalah benar,
dengan variasi, tingkat dan kadar kedalaman yang berbedabeda dalam menghayati
jalan religiusitas itu. Semua agama ada dalam satu keluarga besar yang sama:
yaitu keluarga pencinta jalan menuju kebenaran yang tak pernah ada ujungnya.”
(Kompas, 18112002)
Ketika semua agama dipandang sebagai jalan yang
samasama sah untuk menuju Tuhan – siapa pun Dia, apa pun nama dan sifatNya –
maka muncullah pemikiran bahwa untuk menuju Tuhan bisa dilakukan dengan cara apa
saja. Syariat dipandang sebagai hal yang tidak penting, sekedar teknis/cara
menuju Tuhan (aspek eksoteris). Sedangkan yang penting adalah aspek batin
(esoteris). Karena itu, cara ibadah kepada Tuhan dianggap sebagai masalah
‘teknis’, soal ‘cara’, yang secara eksoterik memang berbedabeda, tetapi
substansinya dianggap sama.
Dr. Luthfi Assyaukanie, dosen Universitas
Paramadina, menulis di Harian Kompas:
“Seorang fideis Muslim, misalnya, bisa merasa dekat kepada Allah
tanpa melewati jalur shalat karena ia bisa melakukannya lewat meditasi atau
ritusritus lain yang biasa dilakukan dalam persemedian spiritual. Dengan
demikian, pengalaman keagamaan hampir sepenuhnya independen dari aturanaturan
formal agama. Pada gilirannya, perangkat dan konsepkonsep agama seperti kitab
suci, nabi, malaikat, dan lainlain tak terlalu penting lagi karena yang lebih
penting adalah bagaimana seseorang bisa menikmati spiritualitas dan
mentransendenkan dirinya dalam lompatan iman yang tanpa batas itu.”
(Kompas, 3/9/2005)
Sumanto AlQurtuby, alumnus Fakultas Syariah IAIN Semarang, juga
menulis dalam bukunya yang berjudul: Lubang Hitam Agama:
“Jika kelak di akhirat, pertanyaan di atas diajukan kepada Tuhan,
mungkin Dia hanya tersenyum simpul. Sambil menunjukkan surgaNya yang mahaluas,
di sana ternyata telah menunggu banyak orang, antara lain, Jesus, Muhammad,
Sahabat Umar, Ghandi, Luther, Abu Nawas, Romo Mangun, Bunda Teresa, Udin,
Baharudin Lopa, dan Munir!” (Lubang Hitam Agama, hal. 45).
Yang perlu diperhatikan oleh umat Islam,
khususnya kalangan lembaga pendidikan Islam, adalah bahwa penyebaran paham
Pluralisme merupakan proyek global yang melibatkan kepentingan dan dana yang
sangat besar. Tidak heran, jika penyebaran paham ini menjadi perhatian
negaranegara Barat dan LSMLSM global. Hampir seluruh LSM dan proyek yang
dibiayai oleh LSMLSM Barat, seperti The Asia Foundation, Ford Foundation, dan
sejenisnya, adalah merekamereka yang bergerak dalam penyebaran paham Pluralisme
Agama. LSMLSM Barat itu secara sistematis menyusup masuk ke lembagalembaga
atau organisasi Islam dengan menawarkan proyekproyek penyebaran paham
Pluralisme Agama. Berbagai buku, jurnal, artikel, dan sebagainya telah
diterbitkan dengan sokongan dana besarbesaran. Paham ini bahkan sudah menyusup
di bukubuku yang diajarkan kepada mahasiswa Perguruan Tinggi Islam. Sebagai
contoh, seorang dosen Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN) Bandung menulis:
“Setiap agama sudah pasti memiliki dan mengajarkan kebenaran.
Keyakinan tentang yang benar itu didasarkan kepada Tuhan sebagai satusatunya
sumber kebenaran.” (hal. 17)…“Keyakinan bahwa agama sendiri yang paling benar
karena berasal dari Tuhan, sedangkan agama lain hanyalah konstruksi manusia,
merupakan contoh penggunaan standar ganda itu. Dalam sejarah, standar ganda ini
biasanya dipakai untuk menghakimi agama lain, dalam derajat keabsahan teologis
di bawah agamanya sendiri. Melalui standar ganda inilah, terjadi perang dan
klaimklaim kebenaran dari satu agama atas agama lain.” (hal. 24) … Agama adalah
seperangkat doktrin, kepercayaan, atau sekumpulan norma dan ajaran Tuhan yang
bersifat universal dan mutlak kebenarannya. Adapun keberagamaan, adalah
penyikapan atau pemahaman para penganut agama terhadap doktrin, kepercayaan,
atau ajaranajaran Tuhan itu, yang tentu saja menjadi bersifat relatif, dan
sudah pasti kebenarannya menjadi bernilai relatif. (hal. 20).10
Karena itulah, kaum Pluralis Agama sangat
terpukul dengan keluarnya fatwa MUI, tahun 2005, yang mengharamkan paham
Pluralisme Agama. Karena itu, bisa dipahami, jika dalam berbagai seminar dan
kesempatan, MUI menjadi bahan cacimaki. Jurnal Justisia Fakultas Syariah IAIN
Semarang edisi 28 Th XIII/2005, memuat laporan utama berjudul ”Majelis
Ulama Indonesia Bukan Wakil Tuhan.” Dalam jurnal ini, misalnya,
diturunkan wawancara dengan seorang staf Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia
(PBHI), dengan judul ”MUI bisa Dijerat KUHP Provokator”. Ia membuat usulan untuk
MUI: ”Jebloskan penjara saja dengan jeratan pasal 55 provokator, jelas
hukumannya sampai 5 tahun.” Berikutnya, staf PBHI itu menyatakan, ”MUI kan hanya
semacam menjual nama Tuhan saja. Dia seakanakan mendapatkan legitimasi Tuhan
untuk menyatakan sesuatu ini mudharat, sesuatu ini sesat. Padahal dia sendiri
tidak mempunyai kewenangan seperti itu. Kalau persoalan agama, biarkan Tuhan
yang menentukan.” Kita juga masih ingat, menyusul keluarnya fatwa tentang
sekularisme, pluralisme agama, dan liberalisme, MUI dikatakan tolol, dan
sebagainya.
Dalam situsnya, Kedutaan Besar Amerika Serikat
di Jakarta
(http://www.usembassyjakarta.org/bhs/Laporan/indonesia_Laporan_depluAS.html)
pada 4 Mei 2007, memuat halaman muka berjudul ”Dukungan terhadap Hak Asasi
Manusia dan Demokrasi: Catatan A.S. 2004 – 2005.” Ada baiknya disimak laporan
yang ditulis dalam website Kedubes AS di Jakarta yang berkaitan dengan Islam dan
pluralisme agama berikut ini:
”Dalam usaha menjangkau masyarakat Muslim, Amerika Serikat
mensponsori para pembicara dari lusinan pesantren, madrasah serta
lembagalembaga pendidikan tinggi Islam, untuk bertukar pandangan tentang
pluralisme, toleransi dan penghargaan terhadap Hak Asasi Manusia. Kedutaan
mengirimkan sejumlah pemimpin dari 80 pesantren ke Amerika Serikat untuk
mengikuti suatu program tigaminggu tentang pluralisme agama, pendidikan
kewarganegaraan dan pembangunan pendidikan. Di samping itu, kedutaan juga
mengirim 38 siswa dan enam guru ke Amerika Serikat selama 4 minggu untuk
mengikuti suatu Program Kepemimpinan Pemuda Muslim, dan melalui Program
Pertukaran dan Studi Pemuda (YES), lebih dari 60 siswa Muslim mengikuti program
satutahun di sekolahsekolah menengah di seluruh Amerika Serikat. Wartawan dari
kirakira 10 agen media Islam berkunjung ke Amerika Serikat untuk melakukan
perjalanan pelaporan. Di tingkat universitas, suatu hibah multitahun membantu
untuk melakukan suatu program pendidikan kewarganegaraan di seluruh sistem
Universitas Muhammadiyah. Bantuan lain yang terpisah membantu suatu lembaga
studi Islam di Yogyakarta untuk melakukan pelatihan tentang Hak Asasi Manusia
dan menyelenggarakan kursuskursus yang meningkatkan toleransi. Bantuan juga
diberikan kepada dua universitas Amerika Serikat untuk pelatihan dan pertukaran
penanganan konflik, dan untuk mendirikan lima pusat mediasi di lembagalembaga
Muslim. Dalam membantu jangkauan jangka panjang, lima American Corners dibuka di
lembagalembaga pendidikan tinggi Muslim di seluruh Indonesia. Amerika Serikat
juga mendanai The Asia Foundation untuk mendirikan suatu pusat internasional
dalam memajukan hubungan regional dan internasional di antara para intelektual
dan aktivis Muslim progresif dalam mengangkat suatu wacana tingkat internasional
tentang penafsiran Islam progresif. Amerika Serikat juga memberikan pendanaan
kepada berbagai organisasi Muslim dan pesantren untuk mengangkat persamaan
jender dan anak perempuan dengan memperkuat pengertian tentang nilainilai
tersebut di antara para pemimpin perempuan masyarakat dan membantu demokratisasi
serta kesadaran jender di pesantren melalui pemberdayaan pemimpin pesantren
lakilaki dan perempuan. Mengembangkan suatu lingkungan dimana orang Indonesia
dapat secara bebas menggunakan hakhak sipil dan politik mereka adalah kritis
bagi tujuan kebijakan luar negeri Amerika Serikat dalam memelihara pluralisme
dan toleransi untuk menghadapi ekstrimisme.”
Dua organisasi Islam terbesar di Indonesia
yakni NU dan Muhammadiyah menjadi incaran utama dari infiltrasi paham ini.
Itu misalnya bisa dilihat dalam artikel artikel yang diterbitkan oleh Jurnal
Tashwirul Afkar (Diterbitkan oleh Lakpesdam NU dan The Asia Foundation),
dan Jurnal Tanwir (diterbitkan oleh Pusat Studi Agama dan Peradaban
Muhammadiyah dan The Asia Foundation). Mereka bukan saja menyebarkan paham ini
secara asongan, tetapi memiliki program yang sistematis untuk mengubah kurikulum
pendidikan Islam yang saat ini masih mereka anggap belum inklusifpluralis.
Sebagai contoh, Jurnal Tashwirul Afkar edisi No
11 tahun 2001, menampilkan laporan utama berjudul “Menuju Pendidikan Islam
Pluralis”. Di tulis dalam Jurnal ini:
“Filosofi pendidikan Islam yang hanya
membenarkan agamanya sendiri, tanpa mau menerima kebenaran agama lain mesti
mendapat kritik untuk selanjutnya dilakukan reorientasi. Konsep imankafir,
muslimnonmuslim, dan baikbenar (truth claim), yang sangat berpengaruh terhadap
cara pandang Islam terhadap agama lain, mesti dibongkar agar umat Islam tidak
lagi menganggap agama lain sebagai agama yang salah dan tidak ada jalan
keselamatan. Jika cara pandangnya bersifat eksklusif dan intoleran, maka teologi
yang diterima adalah teologi eksklusif dan intoleran, yang pada gilirannya akan
merusak harmonisasi agama agama, dan sikap tidak menghargai kebenaran agama
lain. Kegagalan dalam mengembangkan semangat toleransi dan pluralisme agama
dalam pendidikan Islam akan membangkitkan sayap radikal Islam.”11
Bukan hanya NU yang disusupi paham ini.
Muhammadiyah pun juga kesusupan. Jurnal TANWIR edisi 2, Vol 1, Juli 2003,
hal. 8283, terbitan Pusat Studi Agama dan Peradaban (PSAP) Muhammadiyah dan
The Asia Foundation, juga secara sengaja menyebarkan paham ini. Jurnal
ini, misalnya, mencatat:
“Perbedaan ‘jalan’ maupun cara dalam praktik ritual tidaklah menjadi
sebab ditolak atau tercelanya seseorang melakukan ‘penghormatan’ total kepada
apa yang diyakini. Perbedaan jalan dan cara merupakan kekayaan bahasa Tuhan yang
memang tidak bisa secara pasti dipahami oleh bahasabahasa manusia…
Memperhatikan hal ini, maka tidak perlu lagi mempersoalkan mengapa antara orang
Islam, Kristen, Hindu, Budha dan lain sebagainya tampaknya ‘berbeda’ dalam
‘mencapai’ Tuhan. Perbedaan ritual hanyalah perbedaan lahiriah yang bisa
ditangkap oleh kasat mata, sedangkan hakikat ritual adalah ‘penghormatan’ atas
apa yang dianggap suci, luhur, agung, dan sebagainya. Ritualritual hanyalah
simbol manusia beragama karena mengikuti rangkaian sistematika tadi.”
Di Jurnal ini dikutip juga ungkapan seorang dosen agama di
Universitas Muhammadiyah Malang: “Perbedaan yang dimiliki oleh masingmasing
agama pada dasarnya bersifat instrumental. Sementara di balik perbedaan itu,
terkandung pesan dasar yang sama yakni, ketuhanan dan kemanusiaan, yang
memungkinkan masingmasing agama dapat melakukan perjumpaan sejati.”12
Ada yang berkampanye bahwa “Pluralisme agama”
adalah paham yang tidak boleh ditinggalkan dan wajib diikuti oleh semua umat
beragama. Berbagai organisasi dan tokoh agama aktif membentuk semacam “centre
of religious pluralism”. Salah satu sebabnya, program ini memang mudah
menyerap dana besar dari para donatur Barat (“laku dijual”). Seorang aktivis
Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM) menulis di media massa: “Karena
itu, mari kita memproklamasikan kembali bahwa pluralisme agama sudah menjadi
hukum Tuhan (sunnatullâh) yang tidak mungkin berubah. Dan, karena itu, mustahil
pula kita melawan dan menghindari. Sebagai muslim, kita tidak punya jalan lain
kecuali bersikap positif dan optimistis dalam menerima pluralisme agama sebagai
hukum Tuhan.”13
Paham Pluralisme Agama ini pun sudah sempat
disusupkan ke lingkungan Pondok Pesantren. Badan Kerjasama Pondok Pesantren
Indonesia (BKSPPI) sempat ‘kecolongan’ menerbitkan sebuah Majalah bernama
AlWASATHIYYAH, hasil kerjasama BKSPPI dan International Center for
Islam and Pluralism (ICIP) – sebuah lembaga yang getol menyebarkan paham
Pluralisme Agama. Tetapi, setelah menyadari bahaya paham Pluralisme Agama dan
liberalisasi Islam pada umumnya, pimpinan BKSPPI segera mengambil sikap tegas :
menghentikan penerbitan Majalah ALWASATHIYAH dan memutus hubungan dengan
ICIP.
Berikut ini sebagian contoh buku Pluralisme
Agama yang dibiayai oleh LSM LSM asing seperti The Asia Foundation dan Ford
Foundation:
(1) Buku Fiqih Lintas Agama yang diterbitkan oleh Paramadina
dan The Asia Foundation. Dengan berdasarkan pada Pluralisme Agama, buku ini
kemudian juga merombak hukum Islam dalam bidang perkawinan, dengan menghalalkan
perkawinan wanita Muslimah dengan lelaki nonMuslim:
“Soal pernikahan lakilaki nonMuslim dengan wanita Muslim merupakan
wilayah ijtihadi dan terikat dengan konteks tertentu, diantaranya konteks dakwah
Islam pada saat itu. Yang mana jumlah umat Islam tidak sebesar saat ini,
sehingga pernikahan antar agama merupakan sesuatu yang terlarang. Karena
kedudukannya sebagai hukum yang lahir atas proses ijtihad, maka amat
dimungkinkan bila dicetuskan pendapat baru, bahwa wanita Muslim boleh menikah
dengan lakilaki nonMuslim, atau pernikahan beda agama secara lebih luas amat
diperbolehkan, apapun agama dan aliran kepercayaannya.”14
(2) Buku “Nilainilai Pluralisme dalam Islam”, (Kerjasama
Fatayat Nahdhatul Ulama dan dengan Ford Foundation):
Diantara isi buku ialah menyatakan bahwa semua agama adalah sama dan
benar; Islam bukanlah satusatunya jalan kebenaran; dan agama dipandang sama
dengan budaya (Pluralisme Agama): “Dalam konteks ini, maka Islam tak lain adalah
satu jalan kebenaran diantara jalanjalan kebenaran yang lain… artinya jalan
menuju kebenaran tidak selamanya dan musti harus melalui jalan ‘agama’, tapi
juga bisa memakai medium yang lain. Karena sifatnya yang demikian maka Islam
kemudian berdiri sejajar dengan praktik budaya yang ada. Tidak ada perbedaan
yang signifikan kecuali hanya ritualistik simbolistik. Sedangkan esensinya sama,
yakni menuju kebenaran transendental.”15 .
Ternyata, bukan hanya Islam yang direpotkan
oleh paham Pluralisme Agama. Semua agama direpotkan oleh paham ini. Dalam
paparan berikutnya, akan terlihat, bagaimana sikap dari Katolik, Protestan,
Hindu, dan Islam terhadap paham yang pada intinya ‘menyamakan semua agama’ ini.
Padahal, setiap agama memang mempunyai ajaran dan klaim kebenaran masingmasing,
yang unik dan khas, yang berbeda antara satu dengan lainnya.
.
1 Charles Kimball, When
Religion Becomes Evil, (New York: HarperSanFrancisco, 2002).
2. Harold Coward,
Pluralisme: Tantangan bagi Agamaagama, (Yogyakarta: Kanisius, 1989),
hal. 17.
3. Ibid, hal. 2122.
Pandangan Rosensweig ini jelas sangat aneh, sebab sejak awalnya, Yahudi menolak
keras klaim Kristen bahwa Jesus adalah Juru Selamat. Karena itu, Yahudi menolak
klaim Kristen tentang kebenaran Perjanjian Baru. Dan bagi Kristen, kaum
Yahudilah yang bertanggung jawab atas terbunuhnya Yesus, sehingga hampir
sepanjang sejarahnya, kaum Yahudi di Eropa menjadi ajang pembantaian kaum
Kristen. Encyclopaedia Judaica memberikan porsi yang sangat besar (73 halaman)
untuk pembahasan sejarah antiYahudi (yang mereka sebut antiSemitism) di masa
itu. Encyclopaedia ini menulis: “Sejak Kekristenan lahir sebagai satu sekte
Yahudi pembangkang, pandangan tertentu terhadap Judaisme dalam Kitab Perjanjian
Baru harus dilihat dalam perspektif ini). Sikap antiYahudi bisa ditelusuri
dalam New Testament. “Mengenai Injil mereka adalah seteru Allah oleh karena
kamu, tetapi mengenai pilihan mereka adalah kekasih Allah oleh karena nenek
moyang.” (Roma, 11:28). Di antara New Testament, Matius dan Yohanes dikenal
paling ‘hostile’ terhadap Judaisme. Yahudi secara kolektif dianggap bertanggung
jawab terhadap penyaliban Jesus. “Dan seluruh rakyat itu menjawab: “Biarlah
darahNya ditanggungkan atas kami dan atas anakanak kami.” (Matius, 27:25).
Yahudi juga diidentikkan dengan kekuatan jahat. “Iblislah yang menjadi bapamu
dan kamu ingin melakukan keinginankeinginan bapamu.” (Yohanes, 8:44).
Sikapsikap antiYahudi yang dikembangkan tokohtokoh Gereja kemudian, adalah
variasi atau perluasan dari tuduhantuduhan yang tercantum dalam Injil. 1
(Encyclopaedia Judaica, (Jerusalem: Kater Publishing House Ltd), Vol. 2.
Sejumlah Paus lainnya kemudian dikenal sangat antiYahudi. Pada tanggal 17 Juli
1555, hanya dua bulan setelah pengangkatannya, Paus Paulus IV, mengeluarkan
dokumen (Papal Bull) yang dikenal dengan nama Cum nimis absurdum. Di sini Paus
menekankan, bahwa para pembunuh Kristus, yaitu kaum Yahudi, pada hakekatnya
adalah budak dan seharusnya diperlakukan sebagai budak. Yahudi kemudian dipaksa
tinggal dalam ‘ghetto’. Setiap ghetto hanya memiliki satu pintu masuk. Yahudi
dipaksa menjual semua miliknya kepada kaum Kristen dengan harga sangat murah;
maksimal 20 persen dari harga yang seharusnya. Di tiap kota hanya boleh ada satu
sinagog. Di Roma, tujuh dari delapan sinagog dihancurkan. Di Campagna, 17 dari
18 sinagog dihancurkan. Yahudi juga tidak boleh memiliki Kitab Suci. Saat
menjadi kardinal, Paus Paulus IV membakar semua Kitab Yahudi, termasuk Talmud.
Paus Paulus IV meninggal tahun 1559. Tetapi cum nimis absurdum tetap bertahan
sampai tiga abad. 17 (Peter de Rosa, Vicars of Christ: The dark Side of the
Papacy, (London: Bantam Press, 1991), hal. 266269. Tentang konflik
YahudiKristen sepanjang sejarah, lihat Adian Husaini, Tinjauan Historis
Konflik YahudiKristenIslam (Jakarta: GIP, 2004).
4. Paul F. Knitter, No
Other Name?, dikutip dari Stevri I. Lumintang, Theologia AbuAbu:
Tantangan dan Ancaman Racun Pluralisme dalam Teologi Kristen Masa Kini,
(Malang: Gandum Mas, 2004), hal. 67.
5. Alister E. Mcgrath,
Christian Theology: an Introduction, (Oxford: Blackwell Publisher, 1994).
pp 458 459; Daniel B. Clendenin, Many Gods Many Lords: Christianity
Encounters World Religions, (Michigan: Baker Books, 1995). Hal. 12.
6. John Hick, dalam Mircea
Eliade (ed), The Encyclopedia of Religion, (New York: MacMillan
Publishing Company, 1987), Vol. 12, hal. 331. Dalam pengantar bukunya, God
Has Many Names, (Philadelphia: The Westminster Press, 1982), John Hick
mengajak kaum Kristen untuk meninjau kembali pandangan mereka terhadap agama
lain. Sejarah kekristenan Barat, menurut Hick, belum lama sadar tentang ‘kondisi
plural’. Sebelumnya, agamaagama seperti Hinduisme, Budhisme, Judaisme, dan
Islam, pada umumnya dipandang sebagai sisasisa paganisme, yang dipandang
inferior terhadap agama Kristen dan menjadi sasaran empuk kaum misionaris
Kristen. Tapi, saat ini, kata Hick kepada kaum Kristen, ‘’kita semua telah
menyadari bahwa – dalam berbagai tingkatan – sejarah kekristenan kita adalah
salah satu dari berbagai arus kehidupa keagamaan, yang masingmasing memiliki
satu bentuk pengalaman, pemikiran, dan spiritualitas keagamaan yang khas. Karena
itu, kita harus menerima adanya keperluan untuk meninjau kembali pemahaman
keagamaan kita, bukan sebagai satusatunya (agama), tetapi sebagai salah satu
dari sekian banyak agama.’’ (To day, however, we have all become conscious,
in varying degrees, that our Christian history is one of a number of variant
streams of religious life, each with its own distinctive forms of experience,
thought, and spirituality. And accordingly, we have come to accept the need to
reunderstand our own faith, not as the one and only, but as one of
several.’’
7. The Encyclopedia of
Religion, Vol. 12, hal. 332. Tinjauan kritis terhadap kutipan John Hick ini
diberikan oleh Dr. Anis Malik Toha, Ketua Departement of Comparative Religion
di International Islamic University Malaysia. Jalaluddin alRumi, yang
berkata dalam salah satu bait dari syi’irnya yang ditulis dalam Al Matsnawi –
menurut terjemahan R.A. Nicholson yang juga dirujuk oleh Hick: “The light is
not different, (though) the lamp has become different” (Cahaya tidaklah
berbeda, meskipun lampunya berbeda). 1 Kemudian bait ini diadopsi oleh Hick
secara bebas dan out of context menjadi: “The lamps are different, but the
Light is the same” (Lampu adalah berbedabeda, tapi Cahaya tetap sama) untuk
menegaskan hipotesisnya, dan dijadikan salah satu slogan untuk mengawali salah
satu fasal yang secara khusus membentangkan teori pluralisme dalam bukunya An
Interpretation of Religion. Begitu juga ia mendapatakan penggalan ayat dalam
salah satu kitab suci Hindu, Bhagavad Gita, yang berbunyi: “Whatever Path Men
Choose is Mine” (Jalan apapun yang dipilih manusia adalah milikKu), yang
kemudian ia angkat menjadi judul salah satu makalahnya, dianggap mungkin bisa
menyokong hipotesisnya ini. (Penjelasan ini dikutip dari artikel Dr. Anis Malik
Toha, “Menuju Teologi Global”, di Majalah Islamia edisi 4, tahun 2004)
8. Lebih jauh tentang
perkembangan peradaban Barat dan Pluralisme Agama lihat Adian Husaini, Wajah
Peradaban Barat: Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi SekularLiberal,
(Jakarta:GIP, 2005). Contoh pandangan yang memuja Barat dan menganggap
Barat sebagai sumber dan kiblat bagi kemajuan Islam dikemukakan oleh sejumlah
tokoh sekular Turki yang memelopori Gerakan Turki Muda. Dalam katakata Abdullah
Cevdet, seorang tokoh Gerakan Turki Muda: “Yang ada hanya satu peradaban, dan
itu adalah peradaban Eropa. Karena itu, kita harus meminjam peradaban Barat,
baik bunga mawarnya mau pun durinya sekaligus.” (There is only one
civilization, and that is European civilization. Therefore, we must borrow
western civilization with both its rose and its thorn). (Lebih jauh tentang
Gerakan Turki Muda dan ideologinya, lihat Adian Husaini, Tinjauan Historis
Konflik YahudiKristenIslam, (Jakarta:GIP, 2004).
9. Lihat, buku Tiga Agama
Satu Tuhan, (Bandung: Mizan, 1999), hal. xix., dan Nurcholish Madjid,
Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 1995), hal. lxxvii.
10. Adeng Muchtar
Ghazali, Ilmu Studi Agama, (Bandung: Pustaka Setia, 2005)
11. Khamami Zada, Membebaskan Pendidikan Islam:Dari Eksklusivisme menuju Inklusivisme dan Pluralisme, Jurnal Tashwirul Afkar, edisi No 11 tahun 2001.
11. Khamami Zada, Membebaskan Pendidikan Islam:Dari Eksklusivisme menuju Inklusivisme dan Pluralisme, Jurnal Tashwirul Afkar, edisi No 11 tahun 2001.
12. Jurnal TANWIR edisi
2, Vol 1, Juli 2003, hal. 8283, terbitan Pusat Studi Agama dan Peradaban (PSAP)
Muhammadiyah dan The Asia Foundation.
13. Jawa Pos, 11
Januari 2004. Kelompok JIMM memang sangat aktif dalam mengembangkan paham
Pluralisme. Seorang aktivis JIMM mengusulkan agar definisi kafir sebagaimana
dipahami kaum Muslim selama ini diubah. Ia menulis dalam sebuah buku:
”Jadi tidak semua nonMuslim adalah kafir. NonMuslim di Mekkah punya
kriteria kafir seperti yang disebut alQuran, yakni menutup diri dari kebenaran
dari pihak lain. Alihalih berdialog untuk memperbaiki sistem yang tidak adil,
mereka mengancam akan membunuh Muhammad dan para pengikutnya. Inilah substansi
kafir , mereka adalah musuh semua agama dan kemanusiaan. Mereka penindas HAM dan
tidak mau membuka diri untuk mendialogkan kebenaran... Dengan kata lain, Muslim
yang melakukan penganiayaan dan penindasan dan penindasan pun dapat dikatakan
sebagai kafir. Jadi, kafir tidak identik dengan nonMuslim, melainkan siapa pun
dan beragama apa pun ketika tidak adil dan menindas maka ia disebut kafir...
Akan lebih tepat jika term kafir dimaknai sebagai penindas, dan mukmin (orang
beriman) adalah pejuang pembebasan dari penindasan.” (Kembali
keAlQur’an, Menafsir Makna Zaman: Suarasuara kaum Muda Muhammadiyah”,
editor: Pradana Boy ZTF dan M. Hilmi Faiq, pengantar oleh Moeslim Abdurrahman,
2004.)
14. A. Mun’im Sirry (ed),
Fiqih Lintas Agama (Jakarta: Paramadina, 2004), hal. 164. Dalam buku ini
juga disebutkan tentang persamaan semua agama: “Segi persamaan yang sangat asasi
antara semua kitab suci adalah ajaran Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini berbeda
dengan persoalan kaum musyrik yang pada zaman Nabi tinggal di kota Makkah.
Kepada mereka inilah dialamatkan firman Allah, “Katakan (Muhammad), “aku tidak
menyembah yang kamu sembah, dan kamu pun tidak menyhembah yang aku sembah…bagimu
agamamu dan bagiku agamaku”. (Surah alKafirun). Ayat yang sangat menegaskan
perbedaan konsep ‘sesembahan’ in ditujukan kepada kaum musyrik Quraisy dan bukan
kepada Ahli Kitab.” (hal. 5556).
Pernyataan dalam buku Fiqih Lintas Agama ini jelas sangat
keliru. Sebab, begitu banyak ayat alQuran yang menyebutkan, bahwa kaum Yahudi
dan Nasrani adalah kaum kafir. Jika mereka mempunyai konsep ketuhanan yang sama
dengan Islam, mengapa mereka dikatakan kafir? Dalam Tafsir alAzhar,
Prof. Hamka menulis: “Surat ini memberi pedoman yang tegas bagi kita pengikut
Nabi Muhammad bahwasanya akidah tidaklah dapat diperdamaikan. Tauhid dan syirik
tak dapat dipertemukan.” Logikanya, jika Surat alKafirun hanya ditujukan untuk
kaum musyrik Arab saja, maka ini sama halnya, dengan menyatakan, bahwa ayat itu
sudah tidak berlaku lagi, karena kaum musyrik Arab sudah tidak ada lagi. Atau,
bisa juga dimengerti, bahwa kaum Muslim di Jawa boleh saling bergantiganti
melakukan sembahan dengan kaum musyrik Jawa, karena larangan itu hanya untuk
musyrik Arab. Maka, logika buku Fiqih Lintas Agama itu jelas sangat
keliru.
15. Lihat, buku
“Nilainilai Pluralisme dalam Islam” (Jakarta: Fatayat Nahdhatul Ulama
dan Ford Foundation, 2005), hal. 59.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar