Rabu, 04 April 2018

Siapakah Ahlussunnah??



SIAPAKAH AHLUSSUNNAH??


Oleh : Ustadz Arif Fathul Ulum bin Ahmad Saifullah خفظه الله


DEFINISI SUNNAH SECARA BAHASA
Ahlus Sunnah adalah setiap orang yang mengikuti sunnah. Dan sunnah secara bahasa ialah الطَّرِيْقَةُ (jalan), yang baik maupun yang jelek. Rasulullah صلي الله عليه وسلم bersabda:
مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ
Barangsiapa membuat sunnah yang baik dalam Islam maka dia mendapat pahala dari sunnah tersebut dan pahala orang yang mengamalkannya sesudahnya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Dan barangsiapa membuat sunnah yang jelek dalam Islam maka mendapat dosa dan dosa orang yang mengamalkannya sesudahnya tanpa mengurangi dosa me-reka sedikitpun.” (HR. Muslim 2/705)

Ibnu Manzhur berkata, "Sunnah adalah jalan yang baik atau yang jelek." (Lisanul Arab 17/89)

DEFINISI SUNNAH SECARA ISTILAH
Adapun sunnah menurut istilah ahli hadits ialah: Apa yang datang dari Nabi صلي الله عليه وسلم baik berupa perkataan, atau perbuatan, atau persetujuan, atau sifat fisik, atau perilaku, atau perjalanan hidup, sebelum dan sesudah diangkat menjadi nabi.
(Taujihun Nazhar ila Ushulil Atsar, Thahir bin Shalih ad-Dimasyqi, hal. 3 dan as-Sunnah wa Makanatuha fit Tasyri', as-Siba'i, hal. 47)
Sedangkan dalam istilah ahli ushul, sunnah adalah: Apa yang dinukil dari Nabi secara khusus dari hal-hal yang belum dinashkan dalam al-Qur'an, dia dinashkan dari sisi Nabi صلي الله عليه وسلم yang merupakan penjelas dari yang ada dalam al-Kitab. (Lihat al-Muwafaqat, asy-Syathibi, 4/3)
Sunnah diartikan juga sebagai lawan dari bid'ah, di saat menyebarnya bid'ah-bid'ah dan ahwa’. Al-lmam asy-Syathibi رحمه الله berkata, "Dipakai juga (lafazh sunnah) sebagai lawan dari bid'ah. Dikatakan fulan di atas Sunnah jika dia beramal sesuai dengan apa yang ditempuh oleh Nabi ... dan dikatakan fulan di atas bid'ah jika dia mengamalkan kebalikannya." (al-Muwafaqat 4/4)
Al-Hafizh Ibnu Rajab رحمه الله berkata, "Sunnah adalah jalan yang ditempuh. Maka dia (Sunnah) adalah berpegang teguh dengan jalan yang ditempuh oleh Nabi صلي الله عليه وسلم dan Khulafa'ur Rasyidin baik berupa keyakinan, perbuatan, dan perkataan. Inilah Sunnah yang sempurna, karena inilah ulama salaf sejak dulu tidak memakai lafazh Sunnah kecuali meliputi semua hal di atas. Ini diriwayatkan dari al-Hasan, Auza'i, dan Fudhail bin 'lyadh." (Jami'ul Ulum wal Hikam hal. 262)
DEFINISI AHLUS SUNNAH
Al-lmam Ibnu Hazm رحمه الله berkata, "Ahlus Sunnah yang kami sebutkan adalah ahlul haq, dan selain mereka adalah ahli bid'ah. Maka Ahlus Sunnah adalah para sahabat dan setiap yang menempuh jalan mereka dari para tabi'in, kemudian ashhabul hadits dan orang-orang yang mengikuti mereka dari para fuqaha, dari generasi ke generasi hingga saat ini. Demikian juga, orang-orang yang mengikuti mereka dari kalangan awam di timur bumi dan baratnya -semoga Alloh merahmati mereka semuanya-" (al-Fishal fil Milal wal Ahwa' wan Nihal 2/271)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah رحمه الله berkata, "Ahlus Sunnah adalah orang-orang yang berpegang teguh dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah صلي الله عليه وسلم dan apa yang disepakati oleh as-Sabiqunal Awwalun dan kalangan Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik." (Majmu' Fatawa 3/375)
Beliau juga berkata, "Barangsiapa mengikuti Kitab, Sunnah, dan ijma', maka dia termasuk Ahlus Sunnah wal Jama'ah." (Majmu' Fatawa 3/346)
Yang keluar dari definisi Ahlus Sunnah adalah setiap ahli bid'ah dan ahwa' yang menyeleweng dari Nabi صلي الله عليه وسلم dan apa yang disepakati oleh as-Sabiqunal Awwalun dari kalangan Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka.
Maka tidaklah seorang benar-benar dikatakan Ahlus Sunnah sehingga dia berlepas diri dari semua ahli bid'ah dan pemikiran-pemikiran mereka sebagaimana seorang tidak dikatakan bertauhid hingga dia berlepas diri dari kesyirikan dan para pelakunya.
Al-lmam Abdullah bin Mubarak رحمه الله berkata, "Asal dari 72 bid'ah adalah empat bid'ah. Dari keempat bid'ah inilah bercabang menjadi 72 kebid'ahan. (Empat bid'ah ini adalah): Qadariyah, Murji'ah, Syi'ah, dan Khawarij.
Barangsiapa mendahulukan Abu Bakr, Umar, Utsman, dan Ali رضي الله عنهم atas semua sahabat Rasulullah صلي الله عليه وسلم dan tidak membicarakan para sahabat kecuali dengan kebaikan, maka dia telah lepas dari bid'ah Syi'ah dari awal hingga akhir.
Barangsiapa mengatakan: Iman ialah perkataan dan perbuatan, bertambah dan berkurang, maka dia telah lepas dari bid'ah Irja' (Murji'ah) dari awal hingga akhir.
Barangsiapa mengatakan sahnya shalat di belakang imam yang baik dan fajir, wajibnya jihad bersama setiap khalifah, tidak memandang bolehnya memberontak kepada penguasa dengan pedang, mendoakan penguasa dengan kebaikan, maka dia telah lepas dari perkataan Khawarij dari awal hingga akhir.
Barangsiapa mengatakan: Semua taqdir dari Alloh, yang baik dan yang buruk, Alloh menyesatkan siapa yang Dia kehendaki dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki, maka sungguh dia telah lepas dari perkataan Qadariyah dari awal hingga akhir. Maka dialah Ahlus Sunnah." (Syarhus Sunnah, al-Barbahari, hal. 57)
Ahlus Sunnah Tidak Memiliki Nama dan Julukan Kecuali Islam dan Dilalahnya
Ahlus Sunnah memiliki karakteristik yang berbeda dengan ahli bid'ah dari segi penamaan Ahlus Sunnah tidak memiliki nama dan ulukan kecuali Islam dan dilalah (signifikasi)nya.
Ahlus Sunnah tidak pernah menisbatkan diri kepada seorang pun dan tidak menjadikan suri tauladan dalam segala sesuatu kecuali kepada Rasulullah رحمه الله.
Al-lmam Malik رحمه الله berkata, "Ahlus Sunnah tidak memiliki julukan yang mereka dikenali dengannya, bukan Jahmi, bukan juga Qadari, dan bukan pula Rafidhi." (al-lntiqa' fi Fadha'ili Tsalatsatil Aimmah Fuqaha', Ibnu Abdil Barr, hal. 35)
Para ulama salaf bersungguh-sungguh dalam melarang penamaan dan penisbatan selain Islam, Ibnu Abbas رضي الله عنهما berkata, "Barangsiapa mengakui dan mengikuti nama-nama yang dibuat-buat ini maka sungguh dia telah melepaskan ikatan Islam dari lehernya." (Ibanah Shughra, Ibnu Baththah, hal. 137)
Malik bin Mighwal رحمه الله berkata, "Jika seseorang menamakan diri dengan selain Islam dan Sunnah maka lekatkanlah dia dengan agama mana saja." (Ibanah Shughra hal. 137)
Al-lmam Ibnul Qayyim رحمه الله berkata, "Di antara tanda-tanda ahli ubudiyah bahwasanya mereka tidak menisbat-kan diri kepada suatu nama. Maksudnya, mereka tidak dikenal oleh manusia dengan nama-nama yang telah menjadi simbol-simbol bagi para ahli thariqah (sufi-red). Demikian juga, mereka tidak dikenal dengan suatu amalan yang nama mereka hanya dikenal dengan amalan tersebut, karena ini adalah penyakit ubudiyah, lantaran ubudiyah ini adalah ubudiyah yang terbatas. Adapun ubudiyah yang mutlak maka pelakunya tidak dikenal dengan salah satu dari nama-nama ubudiyah, karena dia memenuhi setiap panggilan ubudiyah dengan berbagai macamnya. Dia memiliki bagian bersama setiap pemilik ubudiyah, maka dia tidak membatasi diri dengan simbol, isyarat, nama, kostum, dan thariqah. Bahkan jika dia ditanya tentang nama mursyidnya, dia mengatakan: Rasulullah صلي الله عليه وسلم. Jika ditanya tentang thariqahnya dia menjawab: Ittiba' .... Sebagian imam telah ditanya tentang Sunnah maka dia menjawab, 'Yang tidak punya nama lain kecuali Sunnah', maksudnya bahwa Ahlus Sunnah tidak memiliki penisbatan nama selain Sunnah." (Madarijus Salikin 3/174, 176)
Syaikh Bakr bin Abdullah Abu Zaid رحمه الله berkata, "Ahlus Sunnah wal Jamaah yang berjalan di bawah minhajun nubuwwah tidak pernah lepas walau sedetik pun dari Sunnah, tidak dengan suatu nama dan tidak juga dengan suatu simbol. Mereka tidak pernah menisbatkan diri kepada seorang pun kecuali kepada Rasulullah صلي الله عليه وسلم dan orang yang mengikuti jejaknya. Mereka tidak memiliki simbol dan metode kecuali manhaj nubuwwah (yaitu Kitab dan Sunnah), karena sesuatu yang asli tidak butuh tanda khusus untuk dikenali, yang butuh nama tertentu adalah yang keluar dari yang asli dari kelompok-kelompok yang menyempal dari yang asli (yaitu Jama'atul Muslimin)." (Hukmul Intima' ilal Firaq wal Ahzab wal Jama'atil Islamiyah hal. 28)
Dari sini, nampaklah kepada kita betapa sangat berbahaya akibat banyaknya kelompok-kelompok dan partai-partai Islam yang memiliki nama-nama, julukan-julukan, metode-metode, dan simbol-simbol yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Jadilah setiap kelompok memiliki juru kampanye, simpatisan, dan anggota. Mereka berikan loyalitas mutlak kepada setiap orang yang loyal kepada kelompok mereka dan menisbatkan diri kepada kelompok mereka. Di sisi lain, mereka menjauhi bahkan memusuhi setiap orang yang menyelisihi kelompok mereka dan tidak bernaung di bawah panji-panji mereka!
Sampai-sampai sebagian dari mereka memberikan loyalitas kepada para ahli bid'ah dari Rafidhah, Khawarij, Bathiniyah, Shufiyah, dan selain mereka karena para ahli bid'ah ini masuk ke dalam partai dan kelompok mereka. Di saat yang sama mereka memusuhi Ahlus Sunnah karena tidak masuk dalam partai dan kelompok mereka dan tidak ridha dengan kelakuan mereka!
SESEORANG TIDAK BOLEH DIKELUARKAN DARI AHLUS SUNNAH KARENA KESALAHAN DALAM IJTIHAD
Tidak boleh menghukumi seorang ulama Ahlus Sunnah bahwa dia adalah mubtadi' atau keluar dari Ahlus Sunnah dengan sebab suatu kesalahan dalam ijtihad, sama saja apakah ijtihad tersebut di dalam masalah-masalah aqidah atau dalam masalah-masalah halal dan haram yang banyak diperselisihkan oleh para ulama Ahlus Sunnah. Hal ini karena dia bermaksud menepati kebenaran, dan itulah yang dia fahami sesuai dengan ijtihadnya. Maka dia berudzur dalam hal itu, bahkan dia diberi pahala atas ijtihadnya. Rasulullah صلي الله عليه وسلم bersabda:
إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ
“Jika seorang hakim berijtihad memutuskan perkara kemudian benar maka dia mendapat dua pahala. Dan jika dia berijtihad memutuskan perkara kemudian keliru maka dia mendapat satu pahala.” (HR. Bukhari 6/2676, Muslim 3/1342)
Permasalahan ini adalah salah satu dari perkara-perkara yang disepakati oleh para ulama, tidak adayang menyelisihinya kecuali ahlul bida' dari Kha-warij dan Mu'tazilah, atau orang awam yang terpengaruh pemikiran mereka.
Nash-nash dari Kitab dan Sunnah serta perkataan salaful ummah menunjukkan bahwa seorang muslim diberi udzur jika seorang keliru tanpa dia sengaja, apabila dia bermaksud mengikuti kebenaran, sebagaimana Alloh عزّوجلّ, berfirman menghikayatkan perkataan orang-orang yang beriman:
رَبَّنَا لاَ تُؤَاخِذْنَا إِن نَّسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا
“Wahai Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau keliru. (QS. al-Baqarah [2]: 286), di dalam Shahih Muslim disebutkan bahwasanya Alloh berfirman setelah itu, "Sungguh telah Aku lakukan." (HR. Muslim I/116)
Alloh عزّوجلّ juga berfirman:
وَالَّذِينَ آمَنُواْ وَعَمِلُواْ الصَّالِحَاتِ لاَ نُكَلِّفُ نَفْساً إِلاَّ وُسْعَهَا
“Dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal yang shalih, Kami tidak memikulkan kewajiban kepada diri seseorang melainkan sekedar kesanggupannya. (QS. al-A'raf [7]: 42)
Adapun nash-nash dari Sunnah, di antaranya ialah sabda Rasulullah صلي الله عليه وسلم, "Bahwasanya ada seorang yang berwasiat kepada keluarganya sebelum dia wafat, 'Jika aku mati, kumpulkanlah kayu bakar yang banyak untuk membakarku. Jika api tersebut telah membakar dagingku hingga tampak tulangnya, maka ambillah dan tumbuklah kemudian taburkanlah di lautan di hari yang banyak anginnya.' Maka Alloh membangkitkannya dan menanyai orang tersebut, 'Kenapa engkau lakukan itu?' Orang tersebut menjawab, 'Karena takut kepada-Mu.' Maka Alloh mengampuninya." (HR. Bukhari, 6/514)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, "Laki-laki ini syak (ragu) terhadap qudrah Alloh Ta'ala dan syak terhadap kemampuan Alloh membangkitkannya jika tubuhnya telah menjadi debu, bahkan meyakini bahwa dia tidak dibangkitkan. Ini adalah kekufuran dengan kesepakatan kaum muslimin, tetapi karena dia jahil (bodoh) tidak mengetahui hal itu dan beriman serta takut kepada hukuman Alloh, maka Alloh mengampuninya dengan keimanannya itu." (Majmu' Fatawa 3/231)
Ayat-ayat dan hadits di atas menunjukkan bahwa Alloh memberikan udzur pada suatu kesalahan dengan sebab kejahilan (ketidaktahuan) betapapun besar kesalahan tersebut dan meskipun berhubungan dengan masalah aqidah seperti mengingkari qudrah Alloh untuk membangkitkan manusia. Jika saja Alloh memberikan udzur atas kesalahan yang begitu besar, maka para ulama Ahlus Sunnah lebih berhak mendapatkan udzur jika mereka keliru dalam ijtihad.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, "Jika telah tsabit dengan Kitabullah bahwasanya Alloh telah mengampuni umat ini dalam hal kekeliruan yang tidak disengaja dan kelupaan maka ini berlaku secara umum. Dan tidaklah di dalam dalil-dalil syar'i yang mengharuskan bahwa Alloh mengadzab umat ini yang berbuat kesalahan dengan tidak disengaja ... dan juga sesungguhnya para ulama salaf banyak yang terjatuh dalam berbagai kesalahan dalam banyak permasalahan dan mereka sepakat tidak mengkafirkan seorang pun dengan sebab kesalahan-kesalahan tersebut, seperti sebagian sahabat yang mengingkari bahwa mayit bisa mendengar seruan orang yang hidup, dan sebagian mereka mengingkari terjadinya mi'raj dalam keadaan jaga. (Majmu' Fatawa 12/490, 492)
Dari sini, wajiblah atas kita semua bersikap hati-hati terhadap para ulama dan thullabul ilmi yang dikenal dengan kelurusan aqidah dan manhaj, tidak mudah mengeluarkan mereka dari Ahlus Sunnah dengan sebab kesalahan dalam ijtihad selama ijtihad mereka dalam batas-batas yang bisa diterima secara syar'i.
Barangsiapa begitu mudah mengeluarkan seorang ulama dari lingkup Ahlus Sunnah dengan sebab kesalahan dalam ijtihad, sungguh dia telah menyelisihi manhaj Ahlus Sunnah dalam hal ini dan terjatuh dalam cara-cara ahli bid'ah secara sadar ataupun tidak sadar, karena ahli bid'ah begitu mudah menyalahkan bahkan mengkafirkan setiap orang yang menyelisihi mereka.
Kehati-hatian dalam masalah ini bukan berarti membiarkan adanya kesalahan dan tidak saling memberi nasihat. Karena menjelaskan al-haq merupakan tugas para ahli ilmu yang telah Alloh tekankan di dalam firman-Nya:
وَإِذَ أَخَذَ اللّهُ مِيثَاقَ الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ لَتُبَيِّنُنَّهُ لِلنَّاسِ وَلاَ تَكْتُمُونَهُ
“Dan (ingatlah), ketika Alloh mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi kitab (yaitu): "Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia, dan jangan kamu menyembunyikannya." (QS. Ali Imran [3]: 187)
Hanya saja, penjelasan terhadap adanya suatu kesalahan hendaknya dilakukan oleh seorang yang mumpuni keilmuannya, dan hendaknya dia melakukan hal itu semata-mata mengharap keridhaan Alloh dan menjelaskan al-haq, juga hendaknya dia berusaha menghormati orang yang dia bantah serta memusatkan perhatian pada perkataannya bukan pada person (orang) nya.[1]


1. Pembahasan ini disarikan dari kitab Mauqif Ahlus Sunnah min Ahlil Ahwa' wal Bida' oleh Syaikh Ibrahim bin Amir ar-Ruhaili (hal. 29-72)

KESIMPULAN
Ahlus Sunnah adalah orang-orang yang berpegang teguh dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah صلي الله عليه وسلم dan apa yang disepakati oleh as-Sabiqunal Awwalun dari kalangan Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik.
Yang keluar dari definisi Ahlus Sunnah adalah setiap ahli bid'ah dan ahwa’ yang menyeleweng dari Rasulullah صلي الله عليه وسلم dan apa yang disepakati oleh as-Sabiqunal Awwalun dari kalangan Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka.
Tidaklah seorang benar-benar dikatakan Ahlus Sunnah sehingga dia berlepas diri dari semua ahli bid'ah dan pemikiran-pemikiran mereka.
Ahlus Sunnah memiliki karakteristik yang berbeda dengan ahli bid'ah dari segi penamaan, bahwasanya Ahlus Sunnah tidak memiliki nama dan julukan kecuali Islam dan dilalah (signifikasi)nya.
Ahlus Sunnah tidak pernah menisbatkan diri kepada seorang pun dan tidak menjadikan suri tauladan dalam segala sesuatu kecuali kepada Rasulullah صلي الله عليه وسلم.
Ketika muncul berbagai kelompok bid'ah dan kesesatan, maka Ahlus Sunnah perlu memiliki nama-nama yang membedakan mereka dari kelompok-kelompok sesat ini Sehingga muncullah saat itu nama-nama Ahlus Sunnah yang syar'i. Di antara nama-nama mereka adalah: Ahlus Sunnah wal Jama'ah, Firqatun Najiyah, Tha'ifah Manshurah, dan Salaf.
Tidak boleh menghukumi seorang ulama Ahlus Sunnah bahwa dia adalah mubtadi' atau keluar dari Ahlus Sunnah dengan sebab suatu kesalahan dalam ijtihad, sama saja apakah ijtihad tersebut di dalam masalah-masalah aqidah atau dalam masalah-masalah halal dan haram yang banyak diperselisihkan oleh para ulama Ahlus Sunnah.
Kehati-hatian dalam masalah ini bukan berarti membiarkan adanya kesalahan dan tidak saling memberi nasihat. Hanya saja penjelasan terhadap adanya suatu kesalahan hendaknya dilakukan oleh seorang yang mumpuni keilmuannya dan hendaknya dia melakukan hal itu semata-mata mengharap keridhaan Alloh dan menjelaskan al-haq, juga hendaknya dia berusaha menghormati orang yang dia bantah serta memusatkan perhatian pada perkataannya bukan pada personnya. Wallohu A’lam bish shawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar