SIAPAKAH AHLUSSUNNAH??
Oleh : Ustadz Arif Fathul Ulum bin Ahmad Saifullah خفظه الله
DEFINISI
SUNNAH SECARA BAHASA
Ahlus
Sunnah adalah setiap orang yang mengikuti sunnah. Dan sunnah secara bahasa ialah
الطَّرِيْقَةُ (jalan), yang
baik
maupun yang jelek. Rasulullah صلي الله عليه وسلم bersabda:
مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا
وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ
شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا
وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ
أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ
“Barangsiapa
membuat sunnah yang baik dalam Islam maka dia mendapat pahala dari sunnah
tersebut dan pahala orang yang mengamalkannya sesudahnya tanpa mengurangi pahala
mereka sedikitpun. Dan barangsiapa membuat sunnah yang jelek dalam Islam maka mendapat
dosa dan dosa orang yang mengamalkannya sesudahnya tanpa mengurangi dosa me-reka
sedikitpun.” (HR. Muslim 2/705)
Ibnu Manzhur berkata, "Sunnah adalah jalan yang baik atau yang
jelek." (Lisanul Arab 17/89)
DEFINISI SUNNAH SECARA ISTILAH
Adapun sunnah menurut istilah ahli hadits ialah: Apa yang datang dari
Nabi صلي الله عليه وسلم baik berupa perkataan,
atau perbuatan, atau persetujuan, atau sifat fisik, atau perilaku, atau
perjalanan hidup, sebelum dan sesudah diangkat menjadi nabi.
(Taujihun Nazhar
ila Ushulil Atsar, Thahir bin Shalih ad-Dimasyqi, hal. 3 dan as-Sunnah wa
Makanatuha fit Tasyri', as-Siba'i, hal. 47)
Sedangkan dalam istilah ahli ushul, sunnah adalah: Apa yang dinukil
dari Nabi secara khusus dari hal-hal yang belum dinashkan dalam al-Qur'an, dia
dinashkan dari sisi Nabi صلي الله عليه وسلم yang merupakan penjelas
dari yang ada dalam al-Kitab. (Lihat al-Muwafaqat, asy-Syathibi,
4/3)
Sunnah diartikan juga sebagai lawan dari bid'ah, di saat menyebarnya
bid'ah-bid'ah dan ahwa’. Al-lmam asy-Syathibi رحمه الله berkata, "Dipakai juga
(lafazh sunnah) sebagai lawan dari bid'ah. Dikatakan fulan di atas Sunnah jika
dia beramal sesuai dengan apa yang ditempuh oleh Nabi ... dan dikatakan fulan di
atas bid'ah jika dia mengamalkan kebalikannya." (al-Muwafaqat
4/4)
Al-Hafizh Ibnu Rajab رحمه الله berkata, "Sunnah adalah
jalan yang ditempuh. Maka dia (Sunnah) adalah berpegang teguh dengan jalan yang
ditempuh oleh Nabi صلي الله عليه وسلم dan Khulafa'ur Rasyidin
baik berupa keyakinan, perbuatan, dan perkataan. Inilah Sunnah yang sempurna,
karena inilah ulama salaf sejak dulu tidak memakai lafazh Sunnah kecuali
meliputi semua hal di atas. Ini diriwayatkan dari al-Hasan, Auza'i, dan Fudhail
bin 'lyadh." (Jami'ul Ulum wal Hikam hal. 262)
DEFINISI AHLUS SUNNAH
Al-lmam Ibnu Hazm رحمه الله berkata, "Ahlus Sunnah
yang kami sebutkan adalah ahlul haq, dan selain mereka adalah ahli bid'ah. Maka
Ahlus Sunnah adalah para sahabat dan setiap yang menempuh jalan mereka dari para
tabi'in, kemudian ashhabul hadits dan orang-orang yang mengikuti mereka dari
para fuqaha, dari generasi ke generasi hingga saat ini. Demikian juga,
orang-orang yang mengikuti mereka dari kalangan awam di timur bumi dan baratnya
-semoga Alloh merahmati mereka semuanya-" (al-Fishal fil Milal wal Ahwa' wan
Nihal 2/271)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah رحمه الله berkata, "Ahlus Sunnah
adalah orang-orang yang berpegang teguh dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah
صلي الله عليه وسلم dan apa yang disepakati
oleh as-Sabiqunal Awwalun dan kalangan Muhajirin dan Anshar serta
orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik." (Majmu' Fatawa
3/375)
Beliau juga berkata, "Barangsiapa mengikuti Kitab, Sunnah, dan ijma',
maka dia termasuk Ahlus Sunnah wal Jama'ah." (Majmu' Fatawa
3/346)
Yang keluar dari definisi Ahlus Sunnah adalah setiap ahli bid'ah dan
ahwa' yang menyeleweng dari Nabi صلي الله عليه وسلم dan apa yang disepakati
oleh as-Sabiqunal Awwalun dari kalangan Muhajirin dan Anshar serta orang-orang
yang mengikuti mereka.
Maka tidaklah seorang benar-benar dikatakan Ahlus Sunnah sehingga dia
berlepas diri dari semua ahli bid'ah dan pemikiran-pemikiran mereka sebagaimana
seorang tidak dikatakan bertauhid hingga dia berlepas diri dari kesyirikan dan
para pelakunya.
Al-lmam Abdullah bin Mubarak رحمه الله berkata, "Asal dari 72
bid'ah adalah empat bid'ah. Dari keempat bid'ah inilah bercabang menjadi 72
kebid'ahan. (Empat bid'ah ini adalah): Qadariyah, Murji'ah, Syi'ah, dan
Khawarij.
Barangsiapa mendahulukan Abu Bakr, Umar, Utsman, dan Ali رضي الله عنهم atas semua sahabat Rasulullah صلي الله عليه وسلم dan tidak membicarakan
para sahabat kecuali dengan kebaikan, maka dia telah lepas dari bid'ah Syi'ah
dari awal hingga akhir.
Barangsiapa mengatakan: Iman ialah perkataan dan perbuatan, bertambah
dan berkurang, maka dia telah lepas dari bid'ah Irja' (Murji'ah) dari awal
hingga akhir.
Barangsiapa mengatakan sahnya shalat di belakang imam yang baik dan
fajir, wajibnya jihad bersama setiap khalifah, tidak memandang bolehnya
memberontak kepada penguasa dengan pedang, mendoakan penguasa dengan kebaikan,
maka dia telah lepas dari perkataan Khawarij dari awal hingga akhir.
Barangsiapa mengatakan: Semua taqdir dari Alloh, yang baik dan yang
buruk, Alloh menyesatkan siapa yang Dia kehendaki dan memberi petunjuk kepada
siapa yang Dia kehendaki, maka sungguh dia telah lepas dari perkataan Qadariyah
dari awal hingga akhir. Maka dialah Ahlus Sunnah." (Syarhus
Sunnah, al-Barbahari, hal. 57)
Ahlus Sunnah Tidak Memiliki Nama dan Julukan Kecuali Islam dan
Dilalahnya
Ahlus Sunnah memiliki karakteristik yang berbeda dengan ahli bid'ah
dari segi penamaan Ahlus Sunnah tidak memiliki nama dan ulukan kecuali Islam dan
dilalah (signifikasi)nya.
Ahlus Sunnah tidak pernah menisbatkan diri kepada seorang pun dan
tidak menjadikan suri tauladan dalam segala sesuatu kecuali kepada Rasulullah
رحمه الله.
Al-lmam Malik رحمه الله berkata, "Ahlus Sunnah
tidak memiliki julukan yang mereka dikenali dengannya, bukan Jahmi, bukan juga
Qadari, dan bukan pula Rafidhi." (al-lntiqa' fi Fadha'ili Tsalatsatil Aimmah
Fuqaha', Ibnu Abdil Barr, hal. 35)
Para ulama salaf bersungguh-sungguh dalam melarang penamaan dan
penisbatan selain Islam, Ibnu Abbas رضي الله عنهما berkata, "Barangsiapa
mengakui dan mengikuti nama-nama yang dibuat-buat ini maka sungguh dia telah
melepaskan ikatan Islam dari lehernya." (Ibanah Shughra, Ibnu Baththah,
hal. 137)
Malik bin Mighwal رحمه الله berkata, "Jika seseorang
menamakan diri dengan selain Islam dan Sunnah maka lekatkanlah dia dengan agama
mana saja." (Ibanah Shughra hal. 137)
Al-lmam Ibnul Qayyim رحمه الله berkata, "Di antara
tanda-tanda ahli ubudiyah bahwasanya mereka tidak menisbat-kan diri kepada suatu
nama. Maksudnya, mereka tidak dikenal oleh manusia dengan nama-nama yang telah
menjadi simbol-simbol bagi para ahli thariqah (sufi-red).
Demikian juga, mereka tidak dikenal dengan suatu amalan yang nama mereka hanya
dikenal dengan amalan tersebut, karena ini adalah penyakit ubudiyah, lantaran
ubudiyah ini adalah ubudiyah yang terbatas. Adapun ubudiyah yang mutlak maka
pelakunya tidak dikenal dengan salah satu dari nama-nama ubudiyah, karena dia
memenuhi setiap panggilan ubudiyah dengan berbagai macamnya. Dia memiliki bagian
bersama setiap pemilik ubudiyah, maka dia tidak membatasi diri dengan simbol,
isyarat, nama, kostum, dan thariqah. Bahkan jika dia ditanya tentang nama
mursyidnya, dia mengatakan: Rasulullah صلي الله عليه وسلم. Jika ditanya tentang
thariqahnya dia menjawab: Ittiba' .... Sebagian imam telah ditanya tentang
Sunnah maka dia menjawab, 'Yang tidak punya nama lain kecuali Sunnah', maksudnya
bahwa Ahlus Sunnah tidak memiliki penisbatan nama selain Sunnah." (Madarijus
Salikin 3/174, 176)
Syaikh Bakr bin Abdullah Abu Zaid رحمه الله berkata, "Ahlus Sunnah wal
Jamaah yang berjalan di bawah minhajun nubuwwah tidak pernah lepas walau
sedetik pun dari Sunnah, tidak dengan suatu nama dan tidak juga dengan suatu
simbol. Mereka tidak pernah menisbatkan diri kepada seorang pun kecuali kepada
Rasulullah صلي الله عليه وسلم dan orang yang mengikuti
jejaknya. Mereka tidak memiliki simbol dan metode kecuali manhaj nubuwwah (yaitu
Kitab dan Sunnah), karena sesuatu yang asli tidak butuh tanda khusus untuk
dikenali, yang butuh nama tertentu adalah yang keluar dari yang asli dari
kelompok-kelompok yang menyempal dari yang asli (yaitu Jama'atul Muslimin)."
(Hukmul Intima' ilal Firaq wal Ahzab wal Jama'atil Islamiyah hal.
28)
Dari sini, nampaklah kepada kita betapa sangat berbahaya akibat
banyaknya kelompok-kelompok dan partai-partai Islam yang memiliki nama-nama,
julukan-julukan, metode-metode, dan simbol-simbol yang berbeda-beda satu dengan
lainnya. Jadilah setiap kelompok memiliki juru kampanye, simpatisan, dan
anggota. Mereka berikan loyalitas mutlak kepada setiap orang yang loyal kepada
kelompok mereka dan menisbatkan diri kepada kelompok mereka. Di sisi lain,
mereka menjauhi bahkan memusuhi setiap orang yang menyelisihi kelompok mereka
dan tidak bernaung di bawah panji-panji mereka!
Sampai-sampai sebagian dari mereka memberikan loyalitas kepada para
ahli bid'ah dari Rafidhah, Khawarij, Bathiniyah, Shufiyah, dan selain mereka
karena para ahli bid'ah ini masuk ke dalam partai dan kelompok mereka. Di saat
yang sama mereka memusuhi Ahlus Sunnah karena tidak masuk dalam partai dan
kelompok mereka dan tidak ridha dengan kelakuan mereka!
SESEORANG TIDAK BOLEH DIKELUARKAN DARI AHLUS SUNNAH KARENA KESALAHAN
DALAM IJTIHAD
Tidak boleh menghukumi seorang ulama Ahlus Sunnah bahwa dia adalah
mubtadi' atau keluar dari Ahlus Sunnah dengan sebab suatu
kesalahan dalam ijtihad, sama saja apakah ijtihad tersebut di dalam
masalah-masalah aqidah atau dalam masalah-masalah halal dan haram yang banyak
diperselisihkan oleh para ulama Ahlus Sunnah. Hal ini karena dia bermaksud
menepati kebenaran, dan itulah yang dia fahami sesuai dengan ijtihadnya. Maka
dia berudzur dalam hal itu, bahkan dia diberi pahala atas ijtihadnya. Rasulullah
صلي الله عليه وسلم
bersabda:
إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ
أَجْرَانِ وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ
“Jika seorang hakim berijtihad memutuskan perkara kemudian benar maka
dia mendapat dua pahala. Dan jika dia berijtihad memutuskan perkara kemudian
keliru maka dia mendapat satu pahala.” (HR. Bukhari 6/2676, Muslim
3/1342)
Permasalahan ini adalah salah satu dari perkara-perkara yang
disepakati oleh para ulama, tidak adayang menyelisihinya kecuali ahlul bida'
dari Kha-warij dan Mu'tazilah, atau orang awam yang terpengaruh pemikiran
mereka.
Nash-nash dari Kitab dan Sunnah serta perkataan salaful ummah
menunjukkan bahwa seorang muslim diberi udzur jika seorang keliru tanpa dia
sengaja, apabila dia bermaksud mengikuti kebenaran, sebagaimana Alloh
عزّوجلّ, berfirman menghikayatkan
perkataan orang-orang yang beriman:
رَبَّنَا لاَ تُؤَاخِذْنَا إِن نَّسِينَا أَوْ
أَخْطَأْنَا
“Wahai Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau
keliru. (QS. al-Baqarah [2]: 286), di dalam Shahih Muslim disebutkan bahwasanya
Alloh berfirman setelah itu, "Sungguh telah Aku lakukan." (HR. Muslim
I/116)
Alloh عزّوجلّ juga
berfirman:
وَالَّذِينَ آمَنُواْ وَعَمِلُواْ الصَّالِحَاتِ لاَ نُكَلِّفُ
نَفْساً إِلاَّ وُسْعَهَا
“Dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal yang shalih,
Kami tidak memikulkan kewajiban kepada diri seseorang melainkan sekedar
kesanggupannya. (QS. al-A'raf [7]: 42)
Adapun nash-nash dari Sunnah, di antaranya ialah sabda Rasulullah
صلي الله عليه وسلم, "Bahwasanya ada
seorang yang berwasiat kepada keluarganya sebelum dia wafat, 'Jika aku mati,
kumpulkanlah kayu bakar yang banyak untuk membakarku. Jika api tersebut telah
membakar dagingku hingga tampak tulangnya, maka ambillah dan tumbuklah kemudian
taburkanlah di lautan di hari yang banyak anginnya.' Maka Alloh membangkitkannya
dan menanyai orang tersebut, 'Kenapa engkau lakukan itu?' Orang tersebut
menjawab, 'Karena takut kepada-Mu.' Maka Alloh mengampuninya." (HR. Bukhari,
6/514)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, "Laki-laki ini syak (ragu)
terhadap qudrah Alloh Ta'ala dan syak terhadap kemampuan Alloh membangkitkannya
jika tubuhnya telah menjadi debu, bahkan meyakini bahwa dia tidak dibangkitkan.
Ini adalah kekufuran dengan kesepakatan kaum muslimin, tetapi karena dia jahil
(bodoh) tidak mengetahui hal itu dan beriman serta takut kepada hukuman Alloh,
maka Alloh mengampuninya dengan keimanannya itu." (Majmu' Fatawa
3/231)
Ayat-ayat dan hadits di atas menunjukkan bahwa Alloh memberikan udzur
pada suatu kesalahan dengan sebab kejahilan (ketidaktahuan) betapapun besar
kesalahan tersebut dan meskipun berhubungan dengan masalah aqidah seperti
mengingkari qudrah Alloh untuk membangkitkan manusia. Jika saja Alloh memberikan
udzur atas kesalahan yang begitu besar, maka para ulama Ahlus Sunnah lebih
berhak mendapatkan udzur jika mereka keliru dalam ijtihad.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, "Jika telah tsabit dengan
Kitabullah bahwasanya Alloh telah mengampuni umat ini dalam hal kekeliruan yang
tidak disengaja dan kelupaan maka ini berlaku secara umum. Dan tidaklah di dalam
dalil-dalil syar'i yang mengharuskan bahwa Alloh mengadzab umat ini yang berbuat
kesalahan dengan tidak disengaja ... dan juga sesungguhnya para ulama salaf
banyak yang terjatuh dalam berbagai kesalahan dalam banyak permasalahan dan
mereka sepakat tidak mengkafirkan seorang pun dengan sebab kesalahan-kesalahan
tersebut, seperti sebagian sahabat yang mengingkari bahwa mayit bisa mendengar
seruan orang yang hidup, dan sebagian mereka mengingkari terjadinya mi'raj dalam
keadaan jaga. (Majmu' Fatawa 12/490, 492)
Dari sini, wajiblah atas kita semua bersikap hati-hati terhadap para
ulama dan thullabul ilmi yang dikenal dengan kelurusan aqidah dan
manhaj, tidak mudah mengeluarkan mereka dari Ahlus Sunnah dengan sebab kesalahan
dalam ijtihad selama ijtihad mereka dalam batas-batas yang bisa diterima secara
syar'i.
Barangsiapa begitu mudah mengeluarkan seorang ulama dari lingkup
Ahlus Sunnah dengan sebab kesalahan dalam ijtihad, sungguh dia telah menyelisihi
manhaj Ahlus Sunnah dalam hal ini dan terjatuh dalam cara-cara ahli bid'ah
secara sadar ataupun tidak sadar, karena ahli bid'ah begitu mudah menyalahkan
bahkan mengkafirkan setiap orang yang menyelisihi mereka.
Kehati-hatian dalam masalah ini bukan berarti membiarkan adanya
kesalahan dan tidak saling memberi nasihat. Karena menjelaskan al-haq merupakan
tugas para ahli ilmu yang telah Alloh tekankan di dalam
firman-Nya:
وَإِذَ أَخَذَ اللّهُ مِيثَاقَ الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ
لَتُبَيِّنُنَّهُ لِلنَّاسِ وَلاَ تَكْتُمُونَهُ
“Dan (ingatlah), ketika Alloh mengambil janji dari orang-orang yang
telah diberi kitab (yaitu): "Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada
manusia, dan jangan kamu menyembunyikannya." (QS. Ali Imran [3]:
187)
Hanya saja, penjelasan terhadap adanya suatu kesalahan hendaknya
dilakukan oleh seorang yang mumpuni keilmuannya, dan hendaknya dia melakukan hal
itu semata-mata mengharap keridhaan Alloh dan menjelaskan al-haq, juga hendaknya
dia berusaha menghormati orang yang dia bantah serta memusatkan perhatian pada
perkataannya bukan pada person (orang) nya.[1]
1. Pembahasan ini disarikan dari kitab Mauqif Ahlus Sunnah
min Ahlil Ahwa' wal Bida' oleh Syaikh Ibrahim bin Amir ar-Ruhaili (hal.
29-72)
KESIMPULAN
Ahlus Sunnah adalah orang-orang yang berpegang teguh dengan
Kitabullah dan Sunnah Rasulullah صلي الله عليه وسلم dan apa yang disepakati
oleh as-Sabiqunal Awwalun dari kalangan Muhajirin dan Anshar serta orang-orang
yang mengikuti mereka dengan baik.
Yang keluar dari definisi Ahlus Sunnah adalah setiap ahli bid'ah dan
ahwa’ yang menyeleweng dari Rasulullah صلي الله عليه وسلم dan apa yang disepakati
oleh as-Sabiqunal Awwalun dari kalangan Muhajirin dan Anshar dan orang-orang
yang mengikuti mereka.
Tidaklah seorang benar-benar dikatakan Ahlus Sunnah sehingga dia
berlepas diri dari semua ahli bid'ah dan pemikiran-pemikiran
mereka.
Ahlus Sunnah memiliki karakteristik yang berbeda dengan ahli bid'ah
dari segi penamaan, bahwasanya Ahlus Sunnah tidak memiliki nama dan julukan
kecuali Islam dan dilalah (signifikasi)nya.
Ahlus Sunnah tidak pernah menisbatkan diri kepada seorang pun dan
tidak menjadikan suri tauladan dalam segala sesuatu kecuali kepada Rasulullah
صلي الله عليه وسلم.
Ketika muncul berbagai kelompok bid'ah dan kesesatan, maka Ahlus
Sunnah perlu memiliki nama-nama yang membedakan mereka dari kelompok-kelompok
sesat ini Sehingga muncullah saat itu nama-nama Ahlus Sunnah yang syar'i. Di
antara nama-nama mereka adalah: Ahlus Sunnah wal Jama'ah, Firqatun Najiyah,
Tha'ifah Manshurah, dan Salaf.
Tidak boleh menghukumi seorang ulama Ahlus Sunnah bahwa dia adalah
mubtadi' atau keluar dari Ahlus Sunnah dengan sebab suatu kesalahan dalam
ijtihad, sama saja apakah ijtihad tersebut di dalam masalah-masalah aqidah atau
dalam masalah-masalah halal dan haram yang banyak diperselisihkan oleh para
ulama Ahlus Sunnah.
Kehati-hatian dalam masalah ini bukan berarti membiarkan adanya
kesalahan dan tidak saling memberi nasihat. Hanya saja penjelasan terhadap
adanya suatu kesalahan hendaknya dilakukan oleh seorang yang mumpuni keilmuannya
dan hendaknya dia melakukan hal itu semata-mata mengharap keridhaan Alloh dan
menjelaskan al-haq, juga hendaknya dia berusaha menghormati orang yang dia
bantah serta memusatkan perhatian pada perkataannya bukan pada personnya.
Wallohu A’lam bish shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar