Sudah bukan zamannya lagi menuduh
kaum Muslimin “anti-Pancasila”. Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini
ke-264
Oleh:
Adian Husaini
Tanggal 22 Juni biasanya dikenang oleh umat
Muslim Indonesia sebagai hari kelahiran Piagam Jakarta. Tetapi, tampaknya, kaum
Kristen di Indonesia masih tetap menjadikan Piagam Jakarta sebagai momok yang
menakutkan. Padahal, Piagam Jakarta bukanlah barang haram di negara ini. Bahkan,
dalam Dekritnya pada 5 Juli 1959, Presiden Soekarno dengan tegas mencantumkan,
bahwa “Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai dan merupakan suatu
rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut.”
Tapi, entah kenapa, kaum Kristen di Indonesia
begitu alergi dan ketakutan dengan Piagam Jakarta. Sebagai contoh, Tabloid
Kristen REFORMATA edisi 103/Tahun VI/16-31 Maret 2009 menurunkan laporan utama
berjudul “RUU Halal dan Zakat: Piagam Jakarta Resmi Diberlakukan?” Dalam
pengantar redaksinya, tabloid Kristen yang terbit di Jakarta ini menulis bahwa
dia mengemban tugas mulia untuk mengamankan Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang pluralis, sebagaimana diperjuangkan oleh para pahlawan bangsa.
“Hal ini perlu terus kita ingatkan sebab
akhir-akhir ini kelihatannya makin gencar saja upaya orang-orang yang ingin
merongrong negara kita yang berfalsafah Pancasila, demi memaksakan
diberlakukannya syariat agama tertentu dalam seluruh aspek kehidupan berbangsa
dan bernegara. Sebagaimana kita saksikan, sudah banyak produk perundang-undangan
maupun peraturan daerah (perda) yang diberlakukan di berbagai tempat, sekalipun
banyak rakyat yang menentangnya. Para pihak yang memaksakan kehendaknya ini,
dengan dalih membawa aspirasi kelompok mayoritas, saat ini telah berpesta pora
di atas kesedihan kelompok masyarakat lain, karena ambisi mereka, satu demi satu
berhasil dipaksakan. Entah apa jadinya negara ini nanti, hanya Tuhan yang tahu,”
demikian kutipan sikap Redaksi Tabloid Kristen tersebut.
Cornelius D. Ronowidjojo, Ketua Umum DPP PIKI
(Persekutuan Inteligensia Kristen Indonesia), seperti dikutip tabloid Reformata
menyatakan, bahwa Piagam Jakarta sekarang sudah dilaksanakan dalam realitas
ke-Indonesian melalui Perda dan UU. “Sekarang tujuh kata yang telah dihapus itu,
bukan hanya tertulis, tapi sungguh nyata sekarang,” tegasnya. Yang menggemaskan,
demikian Cornelius, yang melakukan hal itu, bukan lagi para pejuang ekstrim
kanan, tapi oknum-oknum di pemerintahan dan DPR. “Ini kecelakaan sejarah.
Harusnya penyelenggara negara itu bertobat, dalam arti kembali ke Pancasila
secara murni dan konsekuen,” kata Cornelius lagi. Bahkan, tegasnya, “Saya
mengatakan bahwa mereka sekarang sedang berpesta di tengah puing-puing
keruntuhan NKRI.”
Bagi umat Islam Indonesia, sikap antipati
kaum Kristen terhadap syariat Islam tentulah bukan hal baru. Mereka –
sebagaimana sebagian kaum sekular – berpendapat, bahwa penerapan syariat Islam
di Indonesia bertentangan dengan Pancasila. Pada era 1970-1980-an, logika
semacam ini sering kita jumpai. Para siswi yang berjilbab di sekolahnya,
dikatakan anti Pancasila. Pegawai negeri yang tidak mau menghadiri perayaan
Natal Bersama, juga bisa dicap anti Pancasila. Pejabat yang enggan menjawab tes
mental, bahwa ia tidak setuju untuk menikahkan anaknya dengan orang yang
berbeda, juga bisa dicap anti-Pancasila. Kini, di era reformasi, sebagian
kalangan juga kembali menggunakan senjata Pancasila untuk membungkam aspirasi
keagamaan kaum Muslim.
Rumusan Pancasila yang sekarang adalah:
1.
Ketuhanan Yang Maha Esa,
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab,
3. Persatuan
Indonesia,
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan, dan
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.
Rumusan Pancasila tersebut adalah yang tercantum dalam Pembukaan UUD
1945 yang merupakan hasil dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang dengan tegas
menyatakan: “Bahwa kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni
1945 menjiwai dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi
tersebut.”
Jadi, Dekrit Presiden Soekarno itulah yang
menempatkan Piagam Jakarta sebagai bagian yang sah dan tak terpisahkan dari
Konstitusi Negara NKRI, UUD 1945. Dekrit itulah yang kembali memberlakukan
Pancasila yang sekarang. Prof. Kasman Singodimedjo, yang terlibat dalam
lobi-lobi tanggal 18 Agustus 1945 di PPKI, menyatakan, bahwa Dekrit 5 Juli 1959
bersifat “einmalig”, artinya berlaku untuk selama-lamanya (tidak dapat dicabut).
“Maka, Piagam Jakarta sejak tanggal 5 Juli 1959 menjadi sehidup semati dengan
Undang-undang Dasar 1945 itu, bahkan merupakan jiwa yang menjiwai Undang-undang
Dasar 1945 tersebut,” tulis Kasman dalam bukunya, Hidup Itu Berjuang, Kasman
Singodimedjo 75 Tahun (Jakarta: Bulan Bintang, 1982).
Karena itu, adalah sangat aneh jika masih
saja ada pihak-pihak tertentu di Indonesia yang alergi dengan Piagam Jakarta.
Dr. Roeslan Abdulgani, tokoh utama PNI, selaku Wakil Ketua DPA dan Ketua Pembina
Jiwa Revolusi, menulis: “Tegas-tegas di dalam Dekrit ini ditempatkan secara
wajar dan secara histories-jujur posisi dan fungsi Jakarta Charter tersebut
dalam hubungannya dengan UUD Proklamasi dan Revolusi kita yakni: Jakarta Charter
sebagai menjiwai UUD ’45 dan Jakarta Charter sebagai merupakan rangkaian
kesatuan dengan UUD ’45.” (Dikutip dari Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta
22 Juni 1945: Sebuah Konsensus Nasional Tentang Dasar Negara Republik Indonesia
(1945-1949), (Jakarta: GIP, 1997), hal. 130).
Dalam pidatonya pada hari peringatan Piagam
Jakarta tanggal 29 Juni 1968 di Gedung Pola Jakarta, KHM Dahlan, tokoh NU, yang
juga Menteri Agama ketika itu mengatakan: “Bahwa di atas segala-galanya, memang
syariat Islam di Indonesia telah berabad-abad dilaksanakan secra konsekuen oleh
rakyat Indonesia, sehingga ia bukan hanya sumber hukum, malahan ia telah menjadi
kenyataan, di dalam kehidupan rakyat Indonesia sehari-hari yang telah menjadi
adat yang mendarah daging. Hanya pemerintah kolonial Belandalah yang tidak mau
menformilkan segala hukum yang berlaku di kalangan rakyat kita itu, walaupun ia
telah menjadi ikatan-ikatan hukum dalam kehidupan mereka sehari-hari.” (Ibid,
hal. 135).
Meskipun Piagam Jakarta adalah bagian yang
sah dan tidak terpisahkan dari UUD 1945, tetapi dalam sejarah perjalanan bangsa,
senantiasa ada usaha keras untuk menutup-nutupi hal ini. Di zaman Orde Lama,
sebelum G-30S/PKI, kalangan komunis sangat aktif dalam upaya memanipulasi
kedudukan Piagam Jakarta. Ajip Rosidi, sastrawan terkenal menulis dalam buku,
Beberapa Masalah Umat Islam Indonesia (1970): “Pada zaman pra-Gestapu, PKI
beserta antek-anteknyalah yang paling takut kalau mendengar perkataan Piagam
Jakarta… Tetapi agaknya ketakutan akan Piagam Jakarta, terutama ke-7 patah kata
itu bukan hanya monopoli PKI dan antek-anteknya saja. Sekarang pun setelah PKI
beserta antek-anteknya dinyatakan bubar, masih ada kita dengar tanggapan yang
aneh terhadapnya.” (Ibid, hal. 138).
Jadi, sikap alergi terhadap Piagam Jakarta
jelas-jelas bertentangan dengan Konstitusi Negara RI, UUD 1945. Meskipun secara
verbal “tujuh kata” (dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya) telah terhapus dari naskah Pembukaan UUD 1945, tetapi
kedudukan Piagam Jakarta sangatlah jelas, sebagaimana ditegaskan dalam Dekrit
Presiden 5 Juli 1959. Setelah itu, Piagam Jakarta juga merupakan sumber hukum
yang hidup. Sejumlah peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan setelah tahun
1959 merujuk atau menjadikan Piagam Jakarta sebagai konsideran.
Sebagai contoh, penjelasan atas Penpres
1/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, dibuka dengan
ungkapan: “Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 yang menetapkan Undang-undang
Dasar 1945 berlaku lagi bagi segenap bangsa Indonesia ia telah menyatakan bahwa
Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai dan merupakan suatu rangkaian
kesatuan dengan konstitusi tersebut.”
Dalam Peraturan Presiden No 11 tahun 1960
tentang Pembentukan Institut Agama Islam Negeri (IAIN), juga dicantumkan
pertimbangan pertama: “bahwa sesuai dengan Piagam Djakarta tertanggal 22 Djuni
1945, yang mendjiwai Undang-undang Dasar 1945 dan merupakan rangkaian kesatuan
dengan Konstitusi tersebut…”.
Sebuah buku yang cukup komprehensif tentang
Piagam Jakarta ditulis oleh sejarawan Ridwan Saidi, berjudul Status Piagam
Jakarta: Tinjauan Hukum dan Sejarah (Jakarta: Mahmilub, 2007). Ridwan menulis,
bahwa hukum Islam adalah hukum yang hidup di tengah masyarakat Muslim. Tanpa UUD
atau tanpa negara pun, umat Islam akan menjalankan syariat Islam. Karena itu,
Piagam Jakarta, sebenarnya mengakui hak orang Islam untuk menjalankan
syariatnya. Dan itu telah diatur dalam Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang
dituangkan dalam Keppres No. 150/tahun 1959 sebagaimana ditempatkan dalam
Lembaran Negara No. 75/tahun 1959.
Hukum Islam telah diterapkan di bumi
Indonesia ini selama ratusan tahun, jauh sebelum kauh penjajah Kristen datang ke
negeri ini. Selama beratus-ratus tahun pula, penjajah Kristen Belanda berusaha
menggusur hukum Islam dari bumi Indonesia. C. van Vollenhoven dan Christian
Snouck Hurgronje, misalnya, tercatat sebagai sarjana Belanda yang sangat gigih
dalam menggusur hukum Islam. Tapi, usaha mereka tidak berhasil sepenuhnya. Hukum
Islam akhirnya tetap diakui sebagai bagian dari sistem hukum di wilayah Hindia
Belanda. Melalui RegeeringsReglement, disingkat RR, biasa diterjemahkan sebagai
Atoeran Pemerintahan Hindia Belanda (APH), pasal 173 ditentukan bahwa:
“Tiap-tiap orang boleh mengakui hukum dan aturan agamanya dengan
semerdeka-merdekanya, asal pergaulan umum (maatschappij) dan anggotanya
diperlindungi dari pelanggaran undang-undang umum tentang hukum hukuman
(strafstrecht).” (Ridwan Saidi, Status Piagam Jakarta hal. 96).
Jadi, meskipun sudah berusaha sekuat tenaga,
Belanda akhirnya tidak berhasil sepenuhnya menggusur syariat Islam dari bumi
Indonesia. Ridwan menulis: “Sampai dengan berakhirnya masa VOC tahun 1799, VOC
terus berkutat untuk melakukan unifikasi hukum dengan sedapat mungkin
menyingkirkan hukum Islam, tetapi sampai munculnya Pemerintah Hindia Belanda
usaha itu sia-sia belaka.” (Ibid, hal. 94).
Kegagalan penjajah Kristen Belanda untuk
menggusur syariat Islam, harusnya menjadi pelajaran berharga bagi kaum Kristen
di Indonesia. Mereka harusnya menyadari bahwa kedudukan syariat Islam bagi kaum
Muslim sangat berbeda dengan kedudukan hukum Taurat bagi Kristen. Dengan
mengikuti ajaran Paulus, kaum Kristen memang kemudian berlepas diri dari hukum
Taurat dengan berbagai pertimbangan.
Dalam bukunya yang berjudul Syariat Taurat
atau Kemerdekaan Injil? (Mitra Pustaka, 2008), Pendeta Herlianto menguraikan
bagaimana kedudukan hukum Taurat bagi kaum Kristen saat ini. Dalam konsep
Kristen, menurut Herlianto, keselamatan dan kebenaran bukanlah tergantung dari
melakukan perbuatan hukum-hukum Taurat, melainkan karena Iman dan Kasih Karunia
dengan menjalankan hukum Kasih. Jadi, hukum Kasih itulah yang kemudian dipegang
kaum Kristen. Hukum sunat (khitan), misalnya, meskipun jelas-jelas disyariatkan
dalam Taurat, tetapi tidak lagi diwajibkan bagi kaum Kristen. ‘Sunat’ yang
dimaksud, bukan lagi syariat sunat sebagaimana dipahami umat-umat para Nabi
sebelumnya, tetapi ditafsirkan sebagai “sunat rohani”. (Rm. 2:29). (Herlianto,
Syariat Taurat atau Kemerdekaan Injil? Hal. 16-17).
Babi, misalnya, juga secara tegas diharamkan
dalam Kitab Imamat, 11:7-8. Tetapi, teks Bibel versi Indonesia tentang babi itu
sendiri memang sangat beragam, meskipun diterbitkan oleh Lembaga Alkitab
Indonesia (LAI). Dalam Alkitab versi LAI, tahun 1968 ditulis: “dan lagi babi,
karena sungguh pun kukunya terbelah dua, ia itu bersiratan kukunya, tetapi dia
tiada memamah biak, maka haramlah ia kepadamu. Djanganlah kamu makan daripada
dagingnya dan djangan pula kamu mendjamah bangkainya, maka haramlah ia
kepadamu.” (Dalam Alkitab versi LAI tahun 2007, kata babi berubah menjadi babi
hutan: “Demikian juga babi hutan, karena memang berkuku belah, yaitu kukunya
bersela panjang, tetapi tidak memamah biak, haram itu bagimu. Daging
binatang-binatang itu janganlah kamu makan dan bangkainya janganlah kamu sentuh;
haram semuanya itu bagimu.”). Pada tahun yang sama, 2007, LAI juga menerbitkan
Alkitab dalam Bahasa Indonesia Masa Kini, yang menulis ayat tersebut: “Jangan
makan babi. Binatang itu haram, karena walaupun kukunya terbelah, ia tidak
memamah biak. Dagingnya tak boleh dimakan dan bangkainya pun tak boleh disentuh
karena binatang itu haram.”
Jika dibaca secara literal, maka jelaslah,
harusnya babi memang diharamkan. Tetapi, kaum Kristen mempunyai cara tersendiri
dalam memahami kitabnya. Menurut Herlianto, Rasul Paulus telah memberikan
pengertian hukum Taurat dengan jelas: “Tetapi sekarang kita telah dibebaskan
dari hukum Taurat, sebab kita telah mati bagi dia, yang mengurung kita, sehingga
kita sekarang melayani dalam keadaan baru dan bukan dalam keadaan lama menurut
hukum-hukum Taurat.” (Rm. 7:6). (Herlianto, Syariat Taurat atau Kemerdekaan
Injil? Hal. 20).
Pandangan kaum Kristen terhadap hukum Taurat
tentu saja sangat berbeda dengan pandangan dan sikap umat Islam terhadap syariat
Islam. Sampai kiamat, umat Islam tetap menyatakan, bahwa babi adalah haram. Teks
al-Quran yang mengharamkan babi juga tidak pernah berubah sepanjang zaman,
sampai kiamat. Hingga kini, tidak ada satu pun umat Islam yang menolak syariat
khitan, dan menggantikannya dengan “khitan ruhani”. Sebab, umat Islam bukan
hanya menerima ajaran, tetapi juga mempunyai contoh dalam pelaksanaan syariat,
yaitu Nabi Muhammad saw. Karena sifatnya yang final dan universal, maka syariat
Islam berlaku sepanjang zaman dan untuk semua umat manusia. Apa pun latar
belakang budayanya, umat Islam pasti mengharamkan babi dan mewajibkan shalat
lima waktu. Apalagi, dalam pandangan Islam, syariat Islam itu mencakup seluruh
aspek kehidupan manusia; mulai tata cara mandi sampai mengatur
perekonomian.
Pandangan dan sikap umat Islam terhadap
syariat Islam semacam ini harusnya dipahami dan dihormati oleh kaum Kristen.
Sangat disayangkan, tampaknya, kaum Kristen di Indonesia masih saja melihat
syariat Islam dalam perspektif yang sama dengan penjajah Kristen Belanda,
dahulu. Padahal. sudah bukan zamannya lagi menuduh kaum Muslimin yang
melaksanakan ajaran Islam sebagai “anti-Pancasila”, “anti-NKRI”, dan sebagainya.
[Depok, 16 Juni 2009/www.hidayatullah.com]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar